BAB I
PENDAHULUAN
Tasawuf
sebagai ajaran pembersihan hati dan jiwa memiliki sejarah perkembangannya dari
masa ke masa. Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi
dua, yaitu tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku dan tasawuf yang
mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman mendalam
.
Pada
perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering disebut
sebagai tasawuf akhlaqi. Ada yang menyebutnya sebagai tasawuf yang
banyak dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah
kedua disebut sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf ini banyak dikembangkan
para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof di samping sebagai sufi. Di
sini pemakalah mencoba memaparkan sejarah perkembangan kedua jenis tasawuf itu
serta perkembangan tasawuf syi’i yang dijadikan bagian ketiga dari aliran yang
didasarkan atas ketajaman pemahaman kaum sufi dalam menganalisis kedekatan
manusia dengan Tuhan.
BAB II
PEMBAHASAN
- A. PERKEMBANGAN TASAWUF AKHLAQI, FALSAFI DAN SYI’I
Pada mulanya tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman
dari intuisi-intuisi islam. Sejak zaman sahabatdan tabi’in, kecendrungan
pandangan orang terhadap ajaran islam secara lebih analitis sudah muncul.
Ajaran islam dipandang dari dua aspek, yaitu aspek lahiriyah (seremonial) dan
aspek batiniah (spiritual), atau aspek “luar” dan aspek “dalam”.
Pandangan dan pengamalan aspek “dalamnya” mulai terlihat sebagai hal yang paling
utama, namun tanpa mengabaikan aspek “luarnya” yang dimotivasikan untuk
membersihkan jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih berorientasi pada aspek
“dalam”, yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, keagungan Tuhan, dan
kebebasan dari egoism.
Perkembangan tasawuf dalam islam telah mengalami beberapa
fase: pertama, yaitu fase asketisme (zuhud) yang tumbuh pada abad
pertama dan kedua hijriyah. Sikap asketisme (zuhud) ini banyak dipandang
sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Pada fase ini, terdapat individu-individu
dari kalangan muslim yang lebih memusatkan diri pada ibadah. Mereka menjalankan
konsepsi asketis dalam kehidupan, yaitu tidak mementingkan makanan, pakaian,
maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan
dengan kehidupan akhirat, yang menyebabkan mereka lebih memusatkan diri pada
jalur kehidupan dan tingkah laku yang asketis. Tokoh yang sangat popular dari
kalangan mereka adalah Hasah Al-Bashri (wafat pada 110 H) dan Rabi’ah
Al-Adawiyah (185 H). kedua tokohini dijulukii sebagai zahid.
Pada abad ketiga hijriyah, para sufi mulai menaruh perhatian
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku.perkembangan
doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral di
tengah terjadinya dekadensi moral yang berkembang saat itu sehingga di angan
mereka, tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan. Kajian yang
berkenaan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan
yang sangat sederhana dan mudah dipraktekan oleh semua orang terlebih oleh kaum
salaf. Kaum salaf tersebut melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan
menampilkan akhlak yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan batiniah
ajaran islam uang mereka nilai banyak mengandung muatan anjuran untuk berakhlak
yang terpuji.
Kondisi tersebut kurang lebih berkembang selama satu abad,
kemudian pada abad ketiga hijriah, muncul jenis tasawuf lain yang lebih
menonjol pemikiran ekslusif. Golongan ini diwakili oleh Al-Hallaj, yang
kemudian dihukum mati karena manyatakan pendapatnya mengenai hulul (pada
309 H). Boleh jadi, Al-hallaj mengalami peristiwa naas seperti itu karena paham
hululnya ketika itu sangat kontrofersial dengan kenyataan di masyarakat
yang tengah mengarungi jenis tasawuf akhlaqi. Untuk itu, kehadiran Al-Hallaj
dianggap membahayan pemikiran umat. Banyak pengamat menilai bahwa tasawuf jenis
ini terpengaruh unsur-unsur di luar islam.
Pada abad kelima hijriah muncullah Imam Al-Ghazali, yang
sepenuhnya hanya menerima taswuf berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah serta
bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral.
Pengetahuan tentang tasawuf berdasarkan tasawuf dikajinya dengan begitu
mendalam. Di sisi lain, ia melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof,
kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. Al-Ghazali berhasil mengenalkan
prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring dengan aliran ahlu sunnah
waljama’ah, dan bertentangan dengan tasawuf Al-Hajjaj dan Abu Yazid
Al-Busthami, terutama mengenai soal karakter manusia.
Sejak abad keenam hijriah, sebagai akibat pengaruh
keperibadian Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf Sunni semakin
meluas ke seluruh pelosok dunia Islam. Keadaan ini memberi peluang bagi
munculnya para tokuoh sufi yang mengembangkan tarikat-tarikat untuk mendidik
para murid mereka, seperti Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i (wafat pada tahun 570 H) dan
Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani (wafat pada tahun 651 H).
Sejak abad keenam Hijriah, muncul sekelompok tokoh tasawuf
yang memadukan tasawuf mereka dengan filsafat, dengan teori mereka yang
bersifat setengah-setengah. Artinya, tidak dapat disebut murni tasawuf, tetapi
juga juga tidak dapat disebut murni filsafat. Di antara mereka terdapat
Syukhrawadi Al-Maqtul (wafat pada tahun 549 H) penyusun kitab Hikmah
Al-Isyraqiah, syekh Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi (wafat pada tahun 638 H),
penyair sufi Mesir, Ibnu Faridh wafat pada tahun 632), Abdul Haqq Ibnu Sab’in
Al-Mursi(meninggal pada tahun 669 H), serta tokoh-tokoh yang lainnya yang
sealiran. Mereka banyak menimba berbagai sumber dan pendapat asing, seperti
filsafat Yunani dan khususnya Neo-Platonisme. Mereka pun banyak mempunyai teori
mendalam mengenai jiwa, moral, pengetahuan, wujud dan sangat bernilai baik
ditinjau dari segi tasawuf maupun filsafat, dan berdampak besar bagi para sufi
mutakhir.
Dengan munculnya para sufi yang juga filosof, orang mulai
membedakannya dengan tasawuf yang mula-mula berkembang , yakni tasawuf akhlaqi.
Kemudian, tasawuf akhlaqi ini didentik dengan tasawuf sunni. Hanya
saja, titik tekan penyebutan tasawuf sunni dilihat pada upaya yang
dilakukan oleh sufi-sufi yang memegari tasawufnya dengan Al-Quran dan
As-Sunnah. Dengan demikian terbagi menjadi dua, yaitu sunni yang lebih
berorientasi pada pengokohan akhlak , dan tasawuf falsafi, yakni aliran
yang menonjolkan pemikiran-pemikiran filosofis dengan ungkapan-ungkapan
ganjilnya (syathahiyat) dalam ajaran-ajaran yang dikembangkannya.
Ungkapan-ungkapan syathahiyat itu bertolak dari keadaan yang fana menuju
pernyataan tentang terjadinya penyatuan ataupun hulul.
Tasawuf akhlaqi(sunni), sebagaimana dituturkan
Al-Qusyairi dalam Ar-Risalah-nya, diwakili para tokoh sufi dari abad
ketiga dan keempat Hijriayah, Imam Al-Ghazali, dan para pemimpin thariqat yang
memadukan taswuf dengan filsafat, sebagaimana disebut di atas. Para sufi yang
juga seorang filosof ini banyak mendapat kecaman dari para fuqaha akibat
pernyataan-pernyataan mereka yang panteistis. Di antara fuqaha yang
paling keras kecamannya terhadap golongan sufi yang juga filosof ini ialah Ibnu
Taimiah (wafat pada tahun 728 H).
Selama abad kelima Hijriah, aliran tasawuf sunni terus
tumbuh dan berkembang. Sebaiknya, aliran tasawuf filosofis mulai
tenggelam dan muncul kembali dalam bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi yang
juga filosof pada abad keenam hijriah dan seterusnya. Tenggelamnya aliran kedua
ini pada dasarnya merupakan imbas kejayaan aliran teologi ahlu sunnah wal
jama’ah di atas aliran-aliran lainnya. Dia antara kritik keras, teologi ahlu
sunnah wal jama’ah dialamatkan pada keekstriman tasawuf Abu Yazid
Al-Busthami, Al-Hallaj, para sufi lain yang ungkapan-ungkapannya terkenal
ganjil, termasuk kecamannya terhadap semua bentuk berbagai penyimpangan lainnya
yang mulai timbul di kalangan tasawuf. Kejayaan taswuf Sunni diakibatkan
oleh kepiawaian Abu Hasan Al-Asy’ari (wafat 324 H) dalam menggagas pemikiran
Sunninya terutama dalam bidang ilmu kalam.
Oleh karena itu, pada abag kelima Hijriah cenderung
mengalami pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya pada landasan Al-Quraan
dan As-Sunnah. Al-Qusyairi dan Al-Harrawi dipandang sebagai tokoh sufi paling
menonjol pada abad ini yang member bentik tasawuf Sunni. Kitab Ar-Risalah
Al-Qusyairiah memperlihatkan dengan jelas bagaiman Al-Qusyairi
mengembalikan landasan tasawuf pada doktrin ahlu sunnah. Dalam
penilaiannya, ia menegasakan bahwa para tokoh sufi aliran ini membina
prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar sehingga doktrin mereka
terpelihara dari penyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid kaum
salaf maupun ahlu sunnah yang menakjubkan. Al-Qusyairi secara
implisi menolak para sufi yang mengajarakan syahadat, yang mengucapkan
ungkapan penuh kesan tentang terjadimya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan,
terutama sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat kemanusiaan, khususnay sifat
baru-Nya.
Tokoh lainnya yang seirama dengan Al-Qusyairi adalah Abu
Ismail Al-Anshari, yang sering disebut dengan Al-Harawi. Ia mendasrakan
tasawufnya pada doktrin ahlu sunnah. Ia diapandang sebagai penggagas
aliran pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan
keganjilan ungkapan-ungkapannya, seperti Abu Yazid Al-Busthami dan Al-Hallaj.
Al-Ghazali dipandang sebagai pembela tasawuf Sunni. Pandangan
tasawufnya seiring dengan para sufi aliran pertama, para sufi abad ketiga dan
keempat Hijriah. Disampng itu, pandangan-pandangannya seiring dengan
Al-Qusyairi dan Al-Harawi. Namun, dari segi-segi kepribadian, keluasan
pengetahuan, dan kedalaman tasawufnya, Al-Ghazali memiliki kelebihan
dibandingkan dengan semua tokoh di atas. Ia sering diklaim sebagai seorang sufi
terbesar dan terkuat pengaruhnya dalam khazanah ketasawufan di dunia Islam.
Dengan demikian, abad kelima Hijriah merupakan tonggak yang
menentukan kejayaan tasawuf Sunni. Pada abad tersebut, tasawuf Sunni tersebar
luas dikalangan dunia Islam. Fondasinya begitu dalam terpancang untuk jangka
lama pada berbagai lapisan masyarakat Islam.
Diluar dua aliran di atas, ada juga yang memasukkan tasawuf
aliran ketiga, yaitu tasawuf syi’i atau syi’ah. Pembagian yang
ketiga ini didasarkan atas ketajaman pemahaman kaum sufi dalam menganalisis
kedekatan manusia dengan Tuhan. Kaum syi’ah merupakan golongan yang
dinisbatkan kepada pengikut Ali bin Abi Thalib. Dalam sejarahnya, setelah
peristiwa perang shiffin (yakni perang anta pendukung kekholifaan Ali
dan pendukung Muawiyah bin Abi Sufyan), orang-orang pendukung fanatik Ali
memisahkan diri dan banyak berdiam di daratan Persia, yaitu suatu daratan yang
terkenal banyak mewarisi tradisi pemikiran semenjak imperium Persia berjaya,
dan di Persia inilah kontak antara budaya Islam dan Yunani telah berjalan
sebelum dinasti Islam berkuasa di daerah tersebut. Ketiak itu, di daratan
Persia ini sudah berkembang tradisi ilmiah. Pemikiran-pemikiran kefilsafatan
juga sudah begitu berkembang mendahului wilayah-wilayah Islam lainnya.
Oleh karena itu, perkembangan tasawuf Syi’i dapat
ditinjau melalui kaca mata keterpengaruhan Persia oleh pemkiran-pemikiran
filsafat Yunani. Ibnu Khaldun dalm Al-Muqaddimah telah menyinggung soal kedekatan
kaum Syi’ah dengan paham tasawuf. Ibnu Khaldun melihat kedekatan tasawuf
falosofis dengan sekte ismailiyah dan Syi’ah. Sekte ismailiyah
menyatakan terjadinya hulul atau ketuhanan para imam mereka.
Menurutnya, kedua kelomok ini memiliki kesamaan, khususanya dalam persoaalan “quthb”
dan “abdal”. Bagi para sufi filosof, quthb adalah puncak kaum
arifin, sedangakna abdal merupakan perwakilan. Ibnu Khaldun menyatakan
bahwa doktrin yang seperti ini mirip dengan doktrin aliran Ismailiyah tentang
imam dan para wakilnya begitu juga tentang pakaian compang-camping yang
disebut-sebut berasal dari imam Ali.
- AJARAN TASAWUF AKHLAQI
Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk
merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya
dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan
tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang
cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke
titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena
itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun
sebagai berikut:
1. Takhalli
Takhalli merupakan
langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi.Takhalli adalah usaha
mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak
tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah
kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2. Tahalli
Tahalli adalah
upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap,
perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah
mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan
agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut
aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat,
puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan,
ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan. Sikap mental dan perbuatan yang baik sangat
penting diisikan kedalam jiwa manusia akan dibiasakan dalam perbuatan dalam
rangka pembentukan manusia paripurna, antara lain sebagai berikut:
- Taubat: Yaitu rasa penyesalan sungguh – sungguh dalam hati yang disertai permohonan ampun serta berusaha meninggalkan perbuatan yang menimbulkan dosa.
- Cemas dan Harap (Khauf dan Raja’) : yaitu perasaan yang timbul karena banyak berbuat salah dan seringkali lalai kepada Allah.
- Zuhud: Yaitu meninggalkan kehidupan duniawi dan melepaskan diri dari pengaruh materi.
- Al-Faqr: Yaitu sikap yang tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki sehingga tidak meminta sesuatu yang lain.
- Al-Sabru: Yaitu suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil, dan konsekuen dalam pendirian.
- Ridha: Yaitu menerima dengan lapang dada dan hati terbuka terhadap apa saja yang datang dari Allah.
- Muraqabah: yaitu seseorang menyadari bahwa dirinya tidak pernah lepas dari pengawasan Allah sehingga selalu membawanya pada sikap mawas diri atau self correction.
3. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui
pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah
fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar
hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh –yang telah terisi dengan
butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan
yang luhur- tidak berkurang, maka, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih
lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan
yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
- KARAKTERISTIK TASAWUF FALSAFI
Sedangkan tasawuf falsafi merupakan tasawuf yang ajaran –
ajarannya
memadukan antara visi mistik dan visi rasional sebagai pengasasnya.
Ibnu Khaldun dalam karyanya Al-Muqaddimah, menyimpulkan bahwa ada empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof, antara lain :
1. Latihan rohaniah dengan rasa, instiusi serta intropeksi diri yang timbul darinya.
2. Iluminasi atau hakekat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat – sifat rabbani, ‘arsy, kursi, malaikat dll.
3. Peristiwa – peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
4. Penciptaan ungkapan – ungkapan yang pengertiannya sepintas samar – samar (syatahiyyat).
memadukan antara visi mistik dan visi rasional sebagai pengasasnya.
Ibnu Khaldun dalam karyanya Al-Muqaddimah, menyimpulkan bahwa ada empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof, antara lain :
1. Latihan rohaniah dengan rasa, instiusi serta intropeksi diri yang timbul darinya.
2. Iluminasi atau hakekat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat – sifat rabbani, ‘arsy, kursi, malaikat dll.
3. Peristiwa – peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
4. Penciptaan ungkapan – ungkapan yang pengertiannya sepintas samar – samar (syatahiyyat).
- KARAKTERISTIK TASAWUF SYI’I
Perkembangan tasawuf Syi’i dapat ditinjau melalui kaca mata
keterpengaruhan Persia oleh pemkiran-pemikiran filsafat Yunani. Ibnu Khaldun
dalm Al-Muqaddimah telah menyinggung soal kedekatan kaum Syi’ah dengan paham
tasawuf. Ibnu Khaldun melihat kedekatan tasawuf falosofis dengan sekte
ismailiyah dan Syi’ah. Sekte ismailiyah menyatakan terjadinya hulul atau
ketuhanan para imam mereka. Menurutnya, kedua kelomok ini memiliki kesamaan,
khususanya dalam persoaalan “quthb” dan “abdal”. Bagi para sufi filosof, quthb
adalah puncak kaum arifin, sedangkan abdal merupakan perwakilan. Ibnu Khaldun
menyatakan bahwa doktrin yang seperti ini mirip dengan doktrin aliran
Ismailiyah tentang imam dan para wakilnya begitu juga tentang pakaian
compang-camping yang disebut-sebut berasal dari imam Ali. Jika berbicara
tentang tasawuf syi’i, maka akan diikuti oleh tasawuf sunni. Dimana dua macam
tasawuf yang dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau “jarak” ini memiliki
perbedaan. Paham tasawuf syi’i beranggapan, bahwa manusia dapat meninggal
dengan tuhannya karena ada kesamaan esensi antara keduanya. Menurut ibnu
Khaldun yang dikutip oleh Taftazani melihat kedekatan antara tasawuf falsafi
dan tasawuf syi’i. Syi’i memilki pandangan hulul atau ketuhanan iman-iman
mereka. Menurutnya dua kelompok itu mempunyai dua kesamaan. Sementara itu
azzmardi azra tidak membedakan antar keduanya dalam persoalan tasawuf,karena
tidak dikenal dalam terminologi islam mengenai tasawuf syi’i.
Karakteristik dari ajaran tasawuf ini adalah Ajarannya lebih
didasarkan atas ketajaman pemahaman dalam menganalisis kedekatan manusia dengan
tuhan Lebih mengedepankan konsepsi keimanan Adapun karakteristik ajaran para
tokoh-tokoh tasawuf ini antara lain adalah: • Ibnu khaldun Ibnu kaldun
mengambil konsep persoalan quthb yang merupakan puncak iman dan ibdal yang
merupakan perwakilan . • Azyumardi azra Ia tidak membedakan antara tasawuf
syi’i dan sunni .Ia lebih kepada konsep mahabbah,ma,rifah,hulul,wahdatul wujud
kesemuanya itu konsep dari tasawuf falsafi yang cenderung lebih spekulatif. •
Ath-thabathaba’i Ia menjelaskan bahwa ilmu ma’rifat ,mula-mula timbul dalam
dunia sunnah kemudian dikalangan kaum syi’ah.
Comments