BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara garis besar mikroorganisme memiliki
habitat tersendiri sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme
tersebut untuk mempertahankan sistem biologisnya atau di kenal dengan sistem
biologi global. Sistem ini berada dalam lingkaran biosfer dan memiliki satu
satuan ekologi yang saling berinteraksi antara mikroorganisme yang satu dengan
yang lain yang dinamakan dengan interaksi ekosistem. Populasi mikroorganisme
dalam ekosistem saling berinteraksi yang membantu memecahkan produk-produk
organik yang komplek dalam bentuk sisa hewan, tumbuh-tumbuhan dan organik lain
yang di istilahkan dengan organisme decomposer (Anonimus, 2007).
Organisme atau mikroorganisme decomposer dapat
hidup dan ditemukan pada berbagai tempat yaitu ada yang berdiam sementara
ddisebut dengan transient dan ada pula yang hidup permanen dalam berbagai
tingkat generasi walaupun dalam kondisi yang tidak menguntungkan dinamakan
dengan indigenous. Kebanyakan mikroorganisme dapat hidup pada habitat-habitat
yang menguntungkan baginya seperti hidup di tanah, air, udara, dan makanan.
Mikroorganisme yang hidup pada tanah dapat ditemukan dalam dua bentuk yaitu ada
yang pathogen ( berbahaya) pada manusia dan hewan dan apathogen (tidak
berbahaya) (Waluyo, 2009).
Baik secara langsung maupun tidak langsung,
bahan buangan dan jasad dari manusia dan hewan, serta jaringan tumbuh-tumbuhan
di buang atau di kubur dalam tanah. Setelah beberapa lama, bahan-bahan tersebut
akan diuraikan menjadi komponen organik dan beberapa komponen anorganik tanah,
penguraian tersebut dilakukan oleh mikroorganisme yaitu penguraian bahan
organik menjadi substansi yang menyediakan nutrien bagi dunia tumbuhan. Tanpa
aktifitas mikroorganisme tersebut segala ativitas di muka bumi ini lambat laun
akan terhambat (Michael dan Chan, 1988).
1.2.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Mikrobiologi tanah adalah bagian disiplin
mikrobiologi yang mempelajari kehidupan, aktivitas, dan peranan mikroorganisme
di dalam tanah. Tanah merupakan lingkungan kompleks yang ditempati
mikroorganisme beraneka ragam. Ciri-ciri lingkungan tanah bervariasi menurut
letak dan iklimnya. Tanah juga memiliki kedalaman, sifat-sifat fisik, komposisi
kimiawi dan asal yang berbeda. Komposisi tanah terdiri dari materi nonorganik
45% ( Si, Al, Fe, Ca, Mg, K, Na, P, dan lain-lain), materi organik 5 %
(karbohidrat, protein, lipid, dan lain-lain), air (25 %) dan udara (25 %).
sementara organisme di tanah terdiri dari vertebrata, invertebrata,dan
mikroorganisme (Waluyo, 2009).
Golongan-golongan utama yang menyusun populasi
mikroorganisme tanah terdiri atas prokariotik (bakteri dan actinomycetes,
fungi, algae), mikrofauna (protozoa dan archezoa), mezofauna (nemathoda)
makrofauna (semut, cacing tanah, dan lainnya), dan mikrobiota (mycoplasma,
virus, viroid dan prion). Tetapi mikrobiologi tanah memfokuskan pada bakteri,
jamur, dan virus yang terdapat pada tanah.
Dipermukaan tanah terdapat mikroorganisme dalam
jumlah dan variasi yang banyak. Hal tersebut karena permukaan tanah mengandung
banyak sumber makanan dari tumbuhan dan hewan. Biota tanah membentuk sistem
berdasarkan energi dan sumber yang dihasilkan dari proses dekomposisi tumbuhan
dan hewan. Dekomposer primer tanah adalah bakteri dan jamur. Dekomposer
mengurai, mendaur ulang energi, karbon, dan nutrisi dalam tumbuhan dan hewan
mati menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan. Karena itu,
mikroorganisme memegang peran penting dalam proses kehidupan di bumi (Ahira,
2011).
Menurut Waluyo (2009) penyebaran mikroorganisme
di tanah dipengaruhi oleh faktor pH dan suhu tanah. Penyinaran (radiasi) dari
matahari juga berpengaruh besar terhadap kehidupan mikroorganisme di dalam
tanah.
2.2.Peran mikroorganisme
Mikroorganisme tanah ada yang menguntungkan ada
yang merugikan. Contoh peran yang menguntungkan adalah dalam siklus
biogeokimia. Sedangkan peran merugikan diantaranya sebagai patogen pada
manusia, hewan, dan tumbuhan.
Peranan mikroorganisme tanah dalam proses
biogeokimia diantaranya adalah dalam siklus karbon dan siklus nitrogen. Pada
siklus karbon, mikroorganisme mengubah sisa-sisa jasad tumbuhan dan hewan
menjadi karbondioksida dan bahan organik tanah yang disebut humus. Humus
meningkatkan kapasitas tanah untuk menampung air, menyediakan nutrisi untuk
tumbuhan dan mendukung pembentukan tanah. Pada siklus nitrogen terjadi beberapa
reaksi/proses yaitu:1) amonifikasi, 2) nitrifikasi 3) denitrifikasi, 4) fiksasi
nitrogen. Mikroorganisme yang berperan dalam proses fiksasi nitrogen seperti: Azotobacter,
Beijerinckia, Clostridium, Klebsiella, Enterobacter, Bacillus, Rhodospirillum,
Chlorobium, Cyanobacteria, populasi tertinggi ditemukan adalah Rhizobium sp
(Brock dan Madiqan, 1991)
Beberapa jamur yang biasa ditemukan pada tanah
diantaranya adalah Penicillium sp., Trichoderma harzianum., Rhizopus sp.,
Humicola sp., Fusarium sp., Phytophthora infestans., dan Aspergillus sp. Jamur
tanah merupakan salah satu mikroorganisme yyang paling banyak ditemui di tanah.
Kebanyakan jamur pathogen terhadap tanaman (Purwantisari dan Rini, 2009).
Spesies Aspergillus merupakan jamur yang umum
ditemukan di tanah. Meskipun terdapat lebih dari 100 spesies, jenis yang dapat
menimbulkan penyakit pada manusia ialah Aspergillus flavus, Aspergillus niger,
dan Aspergillus fumigatus yang semuanya menular dengan transmisi inhalasi.
Umumnya Aspergillus akan menginfeksi paru-paru. Aspergillus dapat menyebabkan
banyak penyakit pada manusia, bisa jadi akibat reaksi hipersensitivitas atau
invasi langsung. Penyakit yang ditimbulkan diantaranya adalah aflatoxicosis,
aspergillosis, dan aspergillosis.
2.3. Mikroorganisme Tanah Yang Pathogen
Kebanyakan mikroorganisme disini bersifat
apatogen bagi manusia. Beberapa mikroorganisme dapat bertahan melalui adanya
ekskreta atau kadaver. Bakteri patogen yang terdapat di tanah antara lain:
Clostridium tetani, Clostridium botulinum, Clostridium perfringens, dan
Bacillus anthracis.
1.
Clostridium tetani
Clostridium tetani termasuk dalam bakteri Gram
positif, anaerob obligat, dapat membentuk spora, dan berbentuk drumstick. Spora
yang dibentuk oleh C. tetani ini sangat resisten terhadap panas dan antiseptik.
Ia dapat tahan walaupun telah di autoklaf (1210C, 10-15 menit) dan juga
resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Bakteri C. tetani ini banyak
ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan dan di daerah
pertanian. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada tanah dan saluran
penceranaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan
ayam. Ketika bakteri tersebut berada di dalam tubuh, ia akan menghasilkan
neurotoksin (sejenis protein yang bertindak sebagai racun yang menyerang bagian
sistem saraf). C. tetani menghasilkan dua buah eksotoksin, yaitu tetanolysin
dan tetanospasmin. Fungsi dari tetanoysin tidak diketahui dengan pasti, namun
juga dapat memengaruhi tetanus. Tetanospasmin merupakan toksin yang cukup kuat.
Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tenospamin) adalah 2,5
nanogram per kilogram berat badan manusia.
Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa
luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya
benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil
atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki
yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari,
namun dapat singkat 1-2 hari dan kadang lebih satu bulan. makin pendek masa
inkubasi makin buruk prognosis. Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk
kuman Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat, dengan interval antara
terjadinya luka dengan permulaan penyakit; makin jauh tempat invasi, masa
inkubasi makin panjang. Penyakit ini khas dengan adanya tonik pada ototv seran
lintang, biasanya dimulai dari daerah sekitar perlukaan, kemudian otot-otot
pengunyahan, sehingga akan mengalami kesukaran dalam mengunyah.
2.
Clostridium botulinum
Clostridium botulinum ditemukan dimana-mana,
dalam tanah, sedimen didasar laut, usus dan kotoran binatang. C. botulinum
adalah bakteri anaerobik, Gram positif, membentuk spora, berbentuk batang dan
relatif besar. Spora bakteri dapat terhirup atau termakan, atau dapat
menginfeksi luka terbuka. Walaupun demikian bakteri dan sporanya tidak
berbahaya. Gejala botulism disebabkan oleh toksin yang diproduksi oleh bakteri
tersebut. Toksin botulism merupakan toksin yang berbahaya, dengan dosis
mematikan 200-300 pg/kg, yang berarti bila melebihi 100 gram dapat membunuh
setiap manusia didunia (Anonimus 2006a).
Terdapat tujuh strain botulism, masing masing
memproduksi protein yang berpotensi sebagai neurotoxin. Tipe A, B, E dan F
menyebabkan botulism pada manusia. Tipe C-alpha menyebabkan botulism pada
unggas domestik dan liar. Tipe C-beta dan D menyebabkan botulism pada ternak.
Tipe ketujuh dari botulism, strain G, telah diisolasi dari contoh tanah, tetapi
jarang dan belum menunjukkan hubungan yang menyebabkan botulism manusia atau
binatang. Tipe A dan beberapa tipe B dan tipe F mendekomposisikan protein
binatang dan menyebabkan bau dari makanan yang membusuk, dan daging busuk.
Tipe E dan beberapa tipe B,C, D dan F tidak
proteolytic (mereka tidak mencerna protein binatang). Ketika muncul, tipe
botulism ini tidak dapat terdeteksi dengan bau yang kuat (Anonimus 2006b).
Bakteri clostridium merupakan bakteri yang heat
resistant dan dapat bertahan dari perebusan yang lama. Untuk menghancurkan
spora yang ada, makanan harus dipanaskan hingga temperatur 120oC atau lebih,
seperti dalam penggunaan pressure cooker. Racun yang diproduksi oleh bakteri
dapat dihancurkan oleh panas. Untuk menghancurkan toxin yang bersumber dari
makanan, makanan harus dipanaskan hingga 85ºC atau lebih selama lima menit,
atau merebus sedikitnya selama 10 menit.
Bakteri botulinum akan berbahaya bila aktif secara
metabolisme dan memproduksi racun botulinus. Dalam keadaan spora, botulinum
tidak berbahaya. Panas dapat memungkinkan spora aktif dan berkecambah dan panas
juga dapat membunuh bakteri lain yang menjadi saingan dengan Clostridium
Botulinum dalam mendapatkan host (Anonimus 2006a).
Waktu inkubasi C. botulinum adalah 12 sampai 36
jam. Gejala klinis yang disebabkan intoksikasi diantaranya adalah gangguan
pencernaan akut yang diikuti oleh pusing-pusing dan muntah-muntah, bisa juga
diare, lelah, pening dan sakit kepala. Gejala lanjut konstipasi, kesulitan
menelan dan berbicara, lidah bisa membengkak dan tertutup, beberapa otot
lumpuh, dan kelumpuhan bisa menyebar kehati dan saluran pernafasan. Kematian
bisa terjadi dalam waktu tiga sampai enam hari (Siagian 2002). Menurut Bayrak
AO and Tilky HE (2006), gejala klinis akan muncul 2- 36 jam setelah
mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi C. Botulinum (Anonimus, 2011).
3.
Clostridium perfringens
Clostridium perfringens secara luas dapat
ditemukan dalam tanah dan merupakan flora normal dari saluran usus manusia dan
hewan-hewan tertentu. Bakteri ini dapat tumbuh cepat pada makanan yang telah
dimasak dan menghasilkan enterotoksin yang dapat mengakibatkan penyakit diare.
Sayuran dan buah-buahan akan terkontaminasi sporanya melalui tanah. Makanan
asal hewan (daging dan olahannya) akan terkontaminasi melalui proses pemotongan
dengan spora dari lingkungan atau dari saluran usus hewan yang dipotong.
Makanan-makanan kering sering menjadi sumber bakteri ini dan pembentuk spora
lainnya. Ketahanan spora bakteri ini terhadap panas bervariasi di antara
strain.
Secara garis besar spora dapat dibagi dalam dua
kelompok, yaitu spora yang tahan panas (90° Celsius selama 15 sampai 145 menit)
dan spora yang tidak tahan panas (90° Celsius, 3 sampai 5 menit). Spora yang
tahan panas secara umum membutuhkan heat shock 75-100 derajat Celsius selama 5
sampai 20 menit untuk proses germinasi (perubahan spora menjadi bentuk sel
vegetatif). Keracunan makanan oleh C. perfringens hampir selalu melibatkan
peningkatan temperatur dari makanan matang. Hal ini dapat dicegah dengan cara
makanan matang segera dimakan setelah dimasak, atau segera disimpan dalam
refrigerator bila tidak dimakan, dan dipanaskan kembali sebelum dikonsumsi
untuk membunuh bakteri vegetatif.
Klostridia menghasilkan sejumlah besar toksin
dan enzim yang mengakibatkan penyebaran infeksi. Toksin alfa C. perfringens
tipe A adalah suatu lesitinase, dan sifat letalnya sebanding dengan laju
pemecahan lesitin menjadi fosforilkolin dan digliserida. Toksin teta mempunyai
efek hemolitik dan nekrotik yang serupa tetapi bukan suatu lesitinase. DNase
dan hialuronidase, suatu kolagenase yang mencernakan kolagen jaringan subkutan
dan otot, dihasilkan juga.
4.
Bacillus anthracis
Bacillus anthtracis merupakan bakteri berbentuk
batang dengan ukuran 1 x 3-4 πm, dapat tersusun seperti bambu. Sporanya
terletak di sentral dan gerak negatif. Pada kultur tampak koloni putih abu2,
tepi seperti rambut, tidak ada hemolisis pada agar darah.
Kuman anthrak bersifat zoonosis, biasanya
menginfeksi ternak lembu, kambing, domba dan babi. Kuman dikeluarkan melalui
feses, urin dan saliva binatang yang terinfeksi dan bertahan hidup di tanah
dalam bentuk spora untuk waktu yang lama sekali yaitu sekitar 10 tahun. Pada manusia
kuman anthrax dapat menyebabkan infeksi kulit, yang dapat berkembang menjadi
toksemia. Biasanya terjadi pada peternak atau pekerja rumah pemotongan hewan.
Infeksi paru-paru; wool sorters disease yang terjadi karena inhalasi spora dari
bulu domba. Biasanya penyakit ini fatal. Selain itu B. anthtracis juga bisa
menyebabkan infeksi selaput otak setelah bakteremia dan infeksi pada usus,
khususnya infeksi pada usus halus yang disertai dengan gangren. Sebabnya adalah
karena makan daging yang terinfeksi anthrax.
Beberapa alasan yang mendasari penyakit anthrax
menjadi penting dan ditakuti karena kemampuan menular yang tersifat zoonosis,
bakteri mampu membentuk spora yang mempunyai ketahanan tinggi di lingkungan,
sehingga sulit dieradikasi. Pandangan umum anthrax identik dengan kematian
menyebabkan kepanikan tersendiri. Dewasa ini penyakit anthrax semakin populer
karena dapat digunakan sebagai senjata biologis.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Tanah merupakan lingkungan kompleks yang
ditempati mikroorganisme beraneka ragam. Mikroorganisme tanah ada yang
menguntungkan ada yang merugikan. Kebanyakan mikroorganisme disini bersifat
apatogen bagi manusia. Beberapa mikroorganisme dapat bertahan melalui adanya
ekskreta atau kadaver. Bakteri patogen yang terdapat di tanah antara lain:
Clostridium tetani, Clostridium botulinum, Clostridium perfringens, dan
bacillus anthracis.
3.2. SARAN
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahira, A. 2011. Mikrobiologi Tanah. http://www.
Anneahira.com/mikrobiologi-tanah.htm..
Anonimus. 2005. Botulism.http://www.siumed.edu/medicine/infec/patinfo/current/botulism.htm.Anonimus.
2006a. MekanismeBotulinumToksin.http://pkukmweb.ukm.my/~danial/Mekanisme%20toksin.html.
Bayrak AO and Tilky HE, 2006.
Electrophysiologic Findings in a Case of Severe Botulism. Journal of
Neurological Sciences (Turkish). Volume:23, Number 1, Page(s) 049-053.
http://www.jns.dergisi.org/text. phps?id=66.
Brock, TD dan MT. Madiqan. 1991. Biology of
Microorganisms. Sixth ed. Prentice-HallInternational, Inc.
Michael J. Pelczar, jr., dan E. C. S. Chan.
1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi. UI Press. Jakarta.
Purwantisari, S dan Rini, B. H. 2009. Uji
Antagonisme Jamur Patogen Phytophthora infestans Penyebab Penyakit Busuk Daun
dan Umbi Tanaman Kentang Dengan Menggunakan Trichoderma spp. Isolat Lokal.
Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA Undip.
Comments