PENDAHULUAN
1.
A. Latar
Belakang Masalah
Formulasi konsep-konsep dalam dunia tasawuf mulai nampak
sejak abad ke-3 dan ke-4 H. Ini diawali dengan semakin banyaknya orang yang
mempraktikkan jalan sufi yang di dalamnya mereka mendapat pengalaman keagamaan
(religious experience) yang beraneka ragam. Pengalaman keagamaan itu
bahkan ada yang dinilai telah keluar dari ortodoksi Islam oleh para
ulama–biasanya terdiri dari kalangan ahli fiqih. Dari sinilah kemudian muncul
“perdebatan” bahkan “pertentangan” antara sufisme dan syariah yang dalam
sejarahnya Islam selain telah menghabiskan energi para ulama untuk
mendamaikannya.
mendamaikannya.
Berkaitan dengan pengalaman keagamaan yang diperoleh kaum
sufi dan upaya untuk mendamaikan pertentangan antara sufisme dan syariah itulah
kemudian dalam literatur sufi muncul konsep-konsep maqamat dan ahwal.
Sebab, dalam konteks seperti itu tasawuf tidak bisa tinggal puas dengan
kesalehan asketis dan seruan cintanya terus-menerus. Sekali pandangan umumnya
telah memperoleh pengikut dan di antara pengikutnya terdapat kalangan ortodoksi
yang terpandang, segera ia mengembangkan metodologi “jalan batin” atau jalan
spiritual menuju Tuhan. Namun, lebih dari sekedar mendamaikan antara sufirme
dan syariah, kemunculan konsep-konsep dan metode dalam tasawuf juga dipicu oleh
tuduhan kalangan ulama atas klaim-klaim kaum sufi. Para ulama berpendapat bahwa
kalau klaim-klaim kaum sufi seluruhnya diakui, maka akan timbul kekacauan
spiritual karena tidak mungkinnya mengatur, mengontrol, bahkan meramalkan
jalannya “kehidupan spiritual” itu. Dzunnun al-Misri (w. 245/859), misalnya,
yang pada umumnya dianggap telah berjasa oleh kaum sufi atas usahanya
mengklasifikasikan tahap-tahap perkembangan spiritual, benar-benar telah
dituduh menyelewengkan ajaran agama di Bagdad pada 240 H./854 M. Selain
itu–yang lebih penting lagi–kaum sufi sendiri tampaknya memang merasa perlu
untuk mengembangkan suatu metode kontrol dan kritik untuk membakukan dan sejauh
mungkin mengobjektifkan pengalaman-pengalaman mereka.
Dengan arah dan motivasi seperti itulah kemudian di kalangan kaum sufi dikenal tahapan-tahapan atau “station-station” (maqamat) jalan sufi. Selain itu, dari kandungan maqamat itu juga diperinci lagi sebuah teori tentang “keadaan-keadaan” (ahwal) yang–meminjam istilah Rahman–bersifat psiko-gnostik.[1] Pada umumnya isimaqamat itu dinyatakan dalam terminologi yang sepenuhnya dipinjam dari Alquran, seperti tobat, sabar, syukur, dan sebagainya.
Dengan arah dan motivasi seperti itulah kemudian di kalangan kaum sufi dikenal tahapan-tahapan atau “station-station” (maqamat) jalan sufi. Selain itu, dari kandungan maqamat itu juga diperinci lagi sebuah teori tentang “keadaan-keadaan” (ahwal) yang–meminjam istilah Rahman–bersifat psiko-gnostik.[1] Pada umumnya isimaqamat itu dinyatakan dalam terminologi yang sepenuhnya dipinjam dari Alquran, seperti tobat, sabar, syukur, dan sebagainya.
1.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah :
1.
Apa
pengertian dan hakikat maqamat ?
2.
Bagaimana
hakikat ahwal dalam tradisi sufi ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
A. Pengertian
Maqamat
“Maqamat dan Ahwal” adalah dua kata kunci yang menjadi icon untuk
dapat mengakses lebih khusus ke dalam inti dari sufisme, yang pertama berupa
tahapan-tahapan yang mesti dilalui oleh calon sufi untuk mencapai tujuan
tertinggi, berada sedekat-dekatnya dengan Tuhan, dan yang kedua merupakan
pengalaman mental sufi ketika menjelajah maqamat. Dua kata ‘maqamat
dan ahwal’ dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu
berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang
lainnya. Maqamat adalah bentuk jamak dari katamaqam,
yang secara terminologi berarti tingkatan, posisi, stasiun, lokasi. Secara
terminologi Maqamat bermakna kedudukan spiritual atau Maqamat
adalah stasiun-stasiun yang harus dilewati oleh para pejalan spiritual (salik)
sebelum bisa mencapai ujung perjalanan.[2] Istilah Maqamat sebenarnya dipahami
berbeda oeh para sufi. Secara terminologis kata maqam dapat
ditelusuri pengertiannya dari pendapat para sufi, yang masing-masing
pendapatnya berbeda satu sama lain secara bahasa. Namun, secara substansi
memiliki pemahaman yang hampir sama.
Menurut al-Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah
tahapan adab (etika) seorang hamba dalam rangka wushul
(sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan
pencarian dan ukuran tugas. Adapun pengertian maqam dalam
pandangan al-Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba
dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah),
kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah),
latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga
semata-mata kepada Allah.
Semakna dengan al-Qusyairi, al-Hujwiri (w. 465 H) menyatakan
bahwa maqam adalah keberadaan seseorang di jalan Allah yang
dipenuhi olehnya kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan maqam itu serta
menjaganya hingga ia mencapai kesempurnaannya. Jika diperhatikan beberapa
pendapat sufi diatas maka secara terminologis kesemuanya sepakat memahami Maqamat
bermakna kedudukan seorang pejalan spiritual di hadapan Allah yang diperoleh
melalui kerja keras beribadah, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu dan
latihan-latihan spiritual sehingga pada akhirnya ia dapat mencapai
kesempurnaan.[3] Bentuk maqamat adalah
pengalaman-pengalaman yang dirasakan dan diperoleh seorang sufi melalui
usaha-usaha tertentu; jalan panjang berisi tingkatan-tingkatan yang harus
ditempuh oleh seorang sufi agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Tasawuf
memang bertujuan agar manusia (sufi) memperoleh hubungan langsung dengan Allah
sehingga ia menyadari benar bahwa dirinya berada sedekat-dekatnya dengan Allah.
Namun, seorang sufi tidak dapat begitu saja dekat dengan Allah. Ia harus
menempuh jalan panjang yang berisi tingkatan-tingkatan (stages atau stations).
Jumlah maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi ternyata
bersifat relatif. Artinya, antara satu sufi dengan yang lain mempunyai
jumlah maqam yang berbeda. Ini merupakan sesuatu yang wajar
mengingat maqamat itu terkait erat dengan pengalaman sufi itu
sendiri.
Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 750 H) berpendapat bahwa Maqamat
terbagi kepada tiga tahapan. Yang pertama adalah kesadaran (yaqzah), kedua
adalah tafkir (berpikir) dan yang ketiga adalah musyahadah. Sedangkan menurut
al-Sarraj Maqamat terdiri dari tujuh tingkatan yaitu taubat, wara’, zuhd, faqr,
shabr, tawakkal dan ridha.[4] Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin membuat
sistematika maqamat dengan taubat – sabar – faqir – zuhud – tawakal – mahabah –
ma’rifat dan ridha. At Thusi menjelaskan maqamat sebagai berikut : Al Taubat –
Wara – Zuhud – faqir – sabar – ridha – tawakal – ma’rifat. Al Kalabadhi (w.
990/5) didalam kitabnya “Al taaruf Li Madzhab Ahl Tasawuf” menjelaskan
ada sekitar 10 maqamat : Taubat – zuhud – sabar – faqir – dipercaya – tawadhu
(rendah hati) – tawakal – ridho – mahabbah (cinta) -dan ma’rifat.
Jika
kembali kepada sejarah, sebenarnya konsep tentang Maqamat dan ahwal telah ada
pada masa-masa awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang konsep ini
adalah Ali Ibn Abi Thalib. Ketika ia ditanya tentang iman ia menjawab bahwa
iman dibangun atas empat hal: kesabaran, keyakinan, keadilan dan perjuangan.
Akan tetapi, macam-macam maqamat yang akan dijadikan acuan dalam bahasan ini
lebih mengarah pada konsep al-Sarraj.
1.
B. Maqamat
Sebagaimana telah disebutkan diatas tingkatan-tingkatan
(Maqamat) yang harus dilalui oleh seorang salik menurut masing-masing ahli sufi
terdiri dari beberapa tahapan. Masing-masing ketujuh maqam ini mengarah ke
peningkatan secara tertib dari satu maqam ke maqam berikutnya. Dan pada
puncaknya akan tercapailah pembebasan hati dari segala ikatan dunia.[5] Adapun maqamat yang dimaksud diantaranya
sebagai berikut:
1.
Taubat
Dalam
beberapa literatur ahli sufi ditemukan bahwa maqam pertama yang harus ditempuh
oleh salik adalah taubat dan mayoritas ahli sufi sepakat dengan hal ini.
Beberapa diantara mereka memandang bahwa taubat merupakan awal semua maqamat
yang kedudukannya laksana pondasi sebuah bangunan. Tanpa pondasi bangunan tidak
dapat berdiri dan tanpa taubat seseorang tidak akan dapat menyucikan jiwanya
dan tidak akan dapat dekat dengan Allah. Dalam ajaran tasawuf konsep
taubat dikembangkan dan memiliki berbagai macam pengertian. Secara literal
taubat berarti “kembali”. Dalam perspektif tasawuf , taubat berarti kembali
dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya
lagi dan kembali kepada Allah. Menurut para sufi dosa merupakan pemisah antara
seorang hamba dan Allah karena dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah
Maha Suci dan menyukai orang suci. Karena itu, jika seseorang ingin berada
sedekat mungkin dengan Allah ia hrus membersihkan diri dari segala macam dosa
dengan jalan tobat. Tobat ini merupakan tobat yang sebenarnya, yang tidak
melakukan dosa lagi. Bahkan labih jauh lagi kaum sufi memahami tobat dengan
lupa pada segala hal kecuali Allah. Tobat tidak dapat dilakukan hanya sekali,
tetapi harus berkali-kali Dalam hal ini Dzu al-Nun al-Mishry membagi taubat
pada dua bagian yaitu taubatnya orang awam dan orang khawas. Ia mengatakan:
توبة العوام من الذنوب وتوبة الخواص
من الغفلة
Lebih lanjut al-Daqqaq membagi taubat dalam tiga tahap.
Tahap pertama yaitu taubat kemudian inabah (kembali) dan tahap terakhir yaitu
awbah. Menurut al-Sarraj tobat terbagi pada beberapa bagian. Pertama, taubatnya
orang-orang yang berkehendak (Muridin), muta’arridhin, thalibin dan qashidin. Kedua,
taubatnya ahli haqiqat (kaumkhawwas). Pada bagian ini para ahli haqiqat
tidak ingat lagi akan dosa-dosa mereka karena keagungan Allah telah memenuhi
hati mereka dan mereka senantiasa berzikir kepadaNya. Ketiga,
taubat ahli ma’rifat (khusus al-khusus). Adapun taubatnya ahli ma’rifat
yaitu berpaling dari segala sesuatu selain Allah.
1.
wara’
kata wara’ secara etimologi mengarah pada kata الكفِّ
والانقباض yang berarti menghindari atau menjauhkan diri.[6] Dalam perspektif tasawuf wara’ bermakna menahan diri
hal-hal yang sia-sia, yang haram dan hal-hal yang meragukan (syubhat).
Hal ini sejalan dengan hadits nabi:
حدثنا أحمد بن نصر النيسابوري وغير واحد قالوا حدثنا أبو مسهر
عن إسمعيل بن عبد الله بن سماعة عن الأوزاعي عن قرة عن الزهري عن أبي سلمة عن أبي
هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من حسن إسلام المرء تركه ما لا
يعنيه.[7]
“Diantara (tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang ialah
meninggalkan sesuatu yang tidak penting baginya”.
Adapun makna wara’ secara rinci adalah meninggalkan segala
hal yang tidak bermanfaat berupa ucapan, penglihatan, pendengaran, perbuatan,
ide atau aktivitas lain yang dilakukan seorang muslim.[8] Seorang salik hendaknya tidak hidup secara
sembarangan, ia harus menjaga tingkah lakunya, berhati-hati jika berbicara dan
memilih makanan dan minuman yang dikonsumsinya.
1.
Zuhud
Kata zuhud banyak dijelaskan maknanya dalam berbagai
literatur ilmu tasawuf. Karena zuhud merupakan salah satu persyaratan yang
dimiliki oleh seorang sufi untuk mencapai langkah tertinggi dalam spiritualnya.
Diantara makna kata zuhud adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh imam al-Gazali
“mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran”,
adapula yang mendefenisikannya dengan makna “berpalingnya hati dari kesenangan
dunia dan tidak menginginkannya”[9], “kedudukan mulia yang merupakan dasar bagi keadaan yang
diridhai”, serta “martabat tinggi yang merupakan langkah pertama bagi salikyang
berkonsentrasi, ridha, dan tawakal kepada Allah SWT”. Menurut Haidar Bagir
konsep zuhud diidentikkan dengan asketisme[10] yang dapat melahirkan konsep lain yaitu faqr.
Menurut Abu Bakr Muhammad al- Warraq (w. 290/903 M ) kata zuhud mengandung tiga
hal yang mesti ditinggalkan yaitu huruf z berarti zinah
(perhiasan atau kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan),
dan d menunjuk kepada dunia (materi). Dalam perspektif
tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan
padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya karena semata-mata taat
dan mengharapkan ridha Allah SWT.
Menurut Syaikh Syihabuddin ada tiga jenis kezuhudan yaitu
: pertama, Kezuhudan orang-orang awam dalam peringkat
pertama. Kedua, kezuhudan orang-orang khusus (kezuhudan dalam
kezuhudan). Hal ini berarti berubahnya kegembiraan yang merupakan hasil
daripada zuhud hanyalah kegembiraan akhirat, sehingga nafsunya benar-benar
hanya dipenuhi dengan akhirat. Ketiga, Kezuhudan orang-orang khusus
dikalangan kaum khusus. Dalam peringkat ketiga ini adalah kezuhudan bersama
Allah. Hal ini hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan manusia suci. Mereka
telah merasa fana’ sehingga kehendaknya adalah kehendak Allah. Sedangkan
menurut al-Sarraj ada tiga kelompok zuhud :
1.
Kelompok
pemula (mubtadiin), mereka adalah orang-orang yang kosong tangannya dari
harta milik, dan juga kosong kalbunya.
2.
Kelompok
para ahli hakikat tentang zuhud (mutahaqqiqun fi al-zuhd). Kelompok ini
dinyatakan sebagai orang-orang yang meninggalkan kesenangan-kesenangan jiwa
dari apa-apa yang ada di dunia ini, baik itu berupa pujian dan penghormatan
dari manusia.
3.
Kelompok
yang mengetahui dan meyakini bahwa apapun yang ada di dunia ini adalah halal
bagi mereka, namun yakin bahwa harta milik tidak membuat mereka jauh dari Allah
dan tidak mengurangi sedikitpun kedudukan mereka, semuanya semata-mata karena
Allah.
1.
Faqr
Faqr
bermakna senantiasa merasa butuh kepada Allah. Sikap faqr sangat erat
hubungannya dengan sikap zuhud. Jika zuhud bermakna meninggalkan atau menjauhi keinginan
terhadap hal-hal yang bersifat materi (keduniaan) yang sangat diinginkan maka
faqr berarti mengosongkan hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa saja
selain Allah, kebutuhannya yang hakiki hanya kepada Allah semata.
Orang yang faqr bukan berarti tidak memiliki apa-apa, namun
orang faqir adalah orang yang kaya akan dengan Allah semata, orang yang hanya
memperkaya rohaninya dengan Allah. Orang yang bersikap faqr berarti telah
membebaskan rohaninya dari ketergantungan kepada makhluk untuk memenuhi hajat
hidupnya. Ali Uthman al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub,
mengutip seorang sufi yang mengatakan “Faqir bukan orang yang tak punya
rezeki/penghasilan, melainkan yang pembawaan dirinya hampa dari nafsu rendah”.
Dia juga mengutip perkataan Syekh Ruwaym bahwa “Ciri faqir ialah hatinya
terlindung dari kepentingan diri, dan jiwanya terjaga dari kecemaran serta
tetap melaksanakan kewajiban agama.”
1.
Sabr
Sabar secara etimologi berarti tabah hati. Dalam Mu’jam
Maqayis al-Lughah disebutkan bahwa kata sabar memiliki tiga arti yaitu menahan,
sesuatu yang paling tinggi dan jenis bebatuan.[11] Sabar menurut terminologi adalah menahan jiwa dari
segala apa tidak disukai baik itu berupa kesenangan dan larangan untuk
mendapatkan ridha Allah. Dalam perspektif tasawuf sabar berarti menjaga menjaga
adab pada musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalankan perintah
Allah dan menjauhi segala laranganNya serta tabah menghadapi segala peristiwa.
Sabar merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari iman karena
iman terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi
syukur baik itu ketika bahagia maupun dalam keadaan susah.[12] Makna sabar menurut ahli sufi pada dasarnya sama yaitu
sikap menahan diri terhadap apa yang menimpanya.
Menurut
al-Sarraj sabar terbagi atas tiga macam yaitu: orang yang berjuang untuk sabar,
orang yang sabar dan orang yang sangat sabar.
1.
Tawakkal
Tawakkal bermakna ‘berserah diri’. Tawakkal dalam tasawuf
dijadikan washilah untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak
terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah.
Pada dasarnya makna atau konsep tawakkal dalam dunia tasawuf berbeda
dengan konsep agama. Tawakkal menurut para sufi bersifat fatalis,
menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak Allah. Syekh Abdul Qadir
Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa semua yang menjadi ketentuan Tuhan
sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak seorang salik jika ia meminta lebih
dari yang telah ditentukan Tuhan.[13]
1.
Ridha
Pada dasarnya beberapa ulama mengemukakan konsep ridha
secara berbeda. Seperti halnya ulama Irak dan Khurasan yang berbeda mengenai
konsep ini, apakah ia termasuk bagian dari maqam atau hal. Maqam ridha adalah
ajaran untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan
menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyah
disebutkan beberapa pendapat ulama mengenai makna ridha[14], diantaranya pendapat Ruwaim yang mengatakan bahwa: الرضا:
أن لو جعل الله جهنم على يمينه ما سأل أن يحولها إلى يساره. , sedang Abu Bakar
Ibn Thahir berkata: الرضا: إخراج الراهية من القلب، حتى لا يكون فيه إلا فرح
وسرور. . Menurut Imam al-Gazali ridha merupakan buah dari mahabbah. Dalam
perspektif tasawuf ridha berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dada dan
senang terhadap apapun keputusan Allah kepada seorang hamba, meskipun hal
tersebut menyenangkan atau tidak. Sikap ridha merupakan buah dari kesungguhan
seseorang dalam menahan hawa nafsunya.[15]
Ridha menurut al-Sarraj merupakan sesuatu yang agung dan
istimewa, maksudnya bahwa siapa yang mendapat kehormatan dengan ridha berarti
ia telah disambut dengan sambutan paling sempurna dan dihormati dengan
penghormatan tertinggi. Dalam kitabnya al-Luma’ al-sarraj
lebih lanjut mengemukakan bahwa maqam ridha adalah maqam terakhir dari seluruh
rangkaian maqamat. Imam al-Gazali mengatakan bahwa hakikat ridha adalah tatkala
hati senantiasa dalam keadaan sibuk mengingatnya. Berdasarkan pernyataan
tersebut dapat dipahami bahwa seluruh aktivitas kehidupan manusia hendaknya
selalu berada dalam kerangka mencari keridhaan Allah.
1.
C. Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari ‘hal’ yang biasanya diartikan
sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela
perjalanan spiritualnya.[16]Ibn Arabi menyebut hal sebagai setiap sifat yang dimiliki
seorang salik pada suatu waktu dan tidak pada waktu yang lain, seperti
kemabukan dan fana’. Eksistensinya bergantung pada sebuah kondisi. Ia akan
sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada. Hal tidak dapat dilihat dilihat
tetapi dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan karenanya
sulit dilukiskan dengan ungkapan kata.[17]
Telah disebutkan diatas bahwa penjelasan mengenai perbedaan
maqamat dan hal membingungkan karena definisi dari masing-masing tokoh tasawuf
berbeda tetapi umumnya yang dipakai sebagai berikut: Maqamat adalah perjalanan
spiritual yang diperjuangkan oleh para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini
pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan
untuk melawan hawa nafsu termasuk ego manusia yang dipandang sebagai berhala
besar dan merupakan kendala untuk menuju Tuhan. Didalam kenyataannya para Salik
memang untuk berpindah dari satu maqam ke maqam lain memerlukan waktu berbilang
tahun, sedangkan “ahwal” sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari
Tuhan. Lebih lanjut kaum sufi mengatakan bahwa hal adalah anugerah dan maqam
adalah perolehan (kasb). Tidak ada maqam yang tidak dimasuki hal dan tidak ada
hal yang terpisah dari maqam.[18]
Beberapa ulama mengatakan bahwa hal adalah sesuatu yang
tidak diam dan tidak mengikat (dinamis). Al-Gazali dalam memberi
pandangan yang menyatakan bahwa apabila seseorang telah mantap dan tetap dalam
suatu maqam, ia akan memperoleh suatu perasaan tertentu dan itulah hal.
Mengenai hal ini ia juga memberi contoh tentang warna kuning yang dapat dibagi menjadi
dua bagian, ada warna kuning yang tetap seperti warna kuning pada emas dan
warna kuning yang dapat berubah seperti pada sakit kuning. Seperti itulah
kondisi atau hal seseorang. Kondisi atau sifat yang tetap dinamakan maqam
sedangkan yang sifatnya berubah dinamakan hal. Menurut Syihabuddin Suhrawardi
seseorang tidak mungkin naik ke maqam yang lebih tinggi sebelum memperbaiki
maqam sebelumnya. Namun, sebelum beranjak naik, dari maqam yang lebih tinggi
turunlah hal yang dengan itu maqamnya menjadi kenyataan.[19] Oleh karena itu, kenaikan seorang salik dari satu
maqam ke maqam berikutnya disebabkan oleh kekuasaan Allah dan anugerahNya,
bukan disebabkan oleh usahanya sendiri. pernyataan diatas memberikan pemahaman
bahwa maqam bersifat lebih permanent keberadaannya pada diri sang salik
daripada hal. Selain itu, maqamat lebih merupakan hasil upaya aktif para salik,
sedangkan ahwal merupakan anugerah atau uluran Allah yang sifatnya pasif.
Sebagaimana halnya dengan maqam, hal juga
terdiri dari beberapa macam. Namun, konsep pembagian atau formulasi serta
jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli sufi. Diantara macam-macam hal
yaitu; muraqabah, khauf, raja’, syauq, Mahabbah, tuma’ninah,
musyahadah, yaqin.
·
Muraqabah
Secara etimologi muraqabah berarti menjaga atau mengamati
tujuan. Adapun secara terminologi muraqabah adalah salah satu sikap mental yang
mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan
Allah dan merasa diri diawasi oleh penciptanya.[20] Pengertian tersebut sejalan dengan pendangan
al-Qusyairi bahwa muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas
diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat
dirinya.
·
Khauf
Menurut
al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Al-khauf
adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya
atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak senang kepadanya.
Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam setiap tarikan
nafas. Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang
menyebabkan orang lari menuju Allah.
·
Raja’
Raja’
bermakna harapan. Al-Gazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena
menunggu sang kekasih datang kepadanya. Sedangkan menurut al-Qusyairi raja’
adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan
datang. Sementara itu, Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja’ adalah
kesenangan dari Allah bagi hati orang-orang yang takut, jika tidak karena itu
akan binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka. Dari beberapa pendapat
yang dikemukakan ahli sufi diatas dapat dipahami bahwa raja’ adalah sikap
optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat Allah SWT yang disediakan bagi
hambaNya yang saleh dan dalam dirinya timbul rasa optimis yang besar untuk
melakukan berbagai amal terpuji dan menjauhi perbuatan yang buruk dan keji.
·
Syauq
Syauq
bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa
syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam
tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini
memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa
rindu kepada Allah maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki
pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah. Jika pengetahuan dan pengenalan
terhadap Allah telah mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan rasa
senang dan gairah. Rasa senang akan menimbulkan cinta dan akan tumbuh rasa
rindu, rasa rindu untuk selalu bertemu dan bersama Allah.
·
Mahabbah
Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi
kemuliaan hal. Seperti halnya taubat yang menjadi dasar bagi
kemuliaan maqam.[21] Al-Junaid menyebut mahabbah sebagai suatu
kecenderungan hati. Artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah dan kepada
segala sesuatu yang datang dariNya tanpa usaha. Adapun dasar paham
mahabbah antara lain dalam firman Allah:
ü
$pkr’¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä `tB £s?öt öNä3YÏB `tã ¾ÏmÏZÏ t$öq|¡sù
ÎAù’t ª!$# 5Qöqs)Î/ öNåk:Ïtä ÿ¼çmtRq6Ïtäur A’©!Ïr& n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$#
>o¨Ïãr& n?tã tûïÍÏÿ»s3ø9$# crßÎg»pgä Îû È@Î6y «!$# wur
tbqèù$ss sptBöqs9 5OͬIw 4 y7Ï9ºs ã@ôÒsù «!$# ÏmÏ?÷sã `tB âä!$t±o 4
ª!$#ur ììźur íOÎ=tæ ÇÎÍÈ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu
yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang
Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut
terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir,
yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka
mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya,
dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”[22]
ü ö@è% bÎ)
óOçFZä. tbq7Åsè? ©!$# ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósã ª!$# öÏÿøótur ö/ä3s9
ö/ä3t/qçRè 3 ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm§
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”[23]
Adapun
tanda-tanda mahabbah menurut Suhrawardi yaitu; 1) di dalam hati sang pencinta
tidak ada kecintaan pada dunia dan akhirat nanti. 2) ia tidak boleh cenderung
pada keindahan atau kecantikan lain yang mungkin terlihat olehnya atau
mengalihkan pandangannya dari keindahan Allah. 3) ia mesti lebih mencintai
sarana untuk bersatu dengan kekasih dan tunduk. 4) karena dipenuhi dan dibakar
cinta, ia mestilah menyebut-nyebut nama Allah tanpa lelah. 5) Ia harus mengabdi
kepada Allah dan tidak menentang perintahNya. 6) apapun pilhannya pandangannya
selalu mengharapkan keridhaan Allah. 7) menyaksikan Allah dan bersatu denganNya
tidak harus mengurangi kadar cinta dalam dirinya. Dalam dirinya harus bangkit
sifat syauq, dan ketakjuban.
Tokoh
utama paham mahabbah adalah Rabi’ah al-Adawiyah (95 H-185 H). Menurutnya, cinta
kepada Allah merupakan cetusan dari perasaan cinta dan rindu yang mendalam
kepada Allah. Konsep mahabbahnya banyak tertuang dalam syair-syairnya.
·
Tuma’ninah
Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak
ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan
pikiran karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi.
Menurut al-Sarraj tuma’ninah sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya,
dalam ilmunya dan bersih ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal ini
sudah dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
·
Musyahadah
Dalam perspektif tasawuf musyahadah berarti
melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat
dengan mata kepala. Hal ini berarti dalam dunia tasawuf seorang sufi dalam
keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Musyahadah dapat
dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak
pengalaman rohani kedekatan hamba dengan Allah. Dalam pandangan al-Makki,
musyahadah juga berarti bertambahnya keyakinan yang kemudian
bersinar terang karena mampu menyingkap yang hadir (di dalam hati). Seorang
sufi yang telah berada dalam hal musyahadah merasa seolah-olah
tidak ada lagi tabir yang mengantarainya dengan Tuhannya sehingga tersingkaplah
segala rahasia yang ada pada Allah.
·
Yaqin
Al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas
serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga
tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam
pandangan al-Junaid yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik,
tidak berpindah dan tidak berubah. Menurut al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan
sekaligus bagian akhir dari seluruh ahwal. Dapat juga dikatakan bahwa yaqin
merupakan esensi seluruh ahwal .
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah
membahas dan memahami uraian di atas, dapat dibuat beberapa point dalam sebuah
kesimpulan sebagai berikut:
1.
Maqam
adalah tingkatan yang harus ditempuh oleh para pejalan spiritual untuk sampai
pada titik akhir tujuan.
2.
Pada
dasarnya konsep mengenai tingkatan atau macam-macam maqam menurut ahli sufi
berbeda antara satu dengan yang lainnya, diantara mereka ada yang menyebutkan
bahwa tingkatan tersebut terdiri dari taubat, wara’, zuhd, faqr, shabr,
tawakkal dan ridha. Adapula yang membuat sistematika maqamat dengan taubat – sabar
– faqir – zuhud – tawakal – mahabah – ma’rifat dan ridha dan sebagainya.
3.
Maqam
sifatnya lebih dinamis dan aktif karena merupakan usaha dari para salik
sendiri.
4.
Ahwal
adalah keadaan yang dialami oleh para salik di tengah-tengah perjalanan
spiritualnya. Hal sifatnya lebih statis, karena ia
merupakan anugerah Allah yang timbulnya secara spontan pada diri sang salik
tanpa ada usaha terlebih dahulu.
5.
Sebagaimana
maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam. Diantaranya adalah muraqabah,
khauf, raja’, syauq, Mahabbah, tuma’ninah, uns, musyahadah, yaqin.
Comments