BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pada dasarnya, setiap ciri khas dari
suatu ilmu tidak dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya, kecuali jika
definisi ilmu yang bersangkutan diketahui lebih dahulu. Karena ketidaktahuan
terhadap sisi tertentu dari suatu ilmu, tidak mungkin seseorang akan
termotivasi untuk menuntutnya. Ciri khas suatu ilmu juga dapat dilihat dari
objek kajian dan
tujuan-tujuan yang terkandung didalamnya, karena jika unsur-unsur dari suatu ilmu tidak dapat digambarkan, pembahasan ilmu tersebut juga akan menjadi sia-sia.
tujuan-tujuan yang terkandung didalamnya, karena jika unsur-unsur dari suatu ilmu tidak dapat digambarkan, pembahasan ilmu tersebut juga akan menjadi sia-sia.
Kemudian dalam pembahasan kali ini
adalah sebuah kajian yang menjawab berbagai hal yang berhubungan dengan harta
warisan atau pembagian harta dan siapa-siapa saja yang berhak mendapatkannya.
Karena sering kali polemik ini selalu berkelanjutan tidak ada ujungnya
sampai-sampai bisa melaju ke meja hijau dalam pembagian harta Gono-gininya. Tak
jarang hal ini juga yang menyebabkan pembunuhan antara msing-masing saudara
untuk mendapatkan bagian yang lebih besar.
1.2. Manfaat
1.
Agar kita mengetahui
pengertian mawari
2.
Agar kita mengetahui kedudukan
dan urgensi mawaris
3.
Agar kita mengetahui
ketentuan-ketentuan dalam mawaris
4.
Agar kita mengetahui apa
tujuan islam dalam mawaris
5.
Dan secara umum untuk menambah
ilmu pengetahuan yang bermanfaat dunia dan ahirat
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Istilah Fiqh Mawaris (فقه المواريث) sama pengertiannya dengan Hukum Kewarisan dalam bahasa
Indonesia, yaitu hukum yang mengatur tata cara pembagian harta peninggalan
orang yang meninggal dunia. Ada dua nama ilmu yang membahas pembagian harta
warisan, yaitu ilmu mawaris (علم المواريث) dan ilmu fara'id (علم الفرائض). Kedua nama
ini (mawaris dan fara'id) disebut dalam al-Qur'an maupun al-hadis. Sekalipun
obyek pembahasan kedua ilmu ini sama, tetapi istilahnya jelas berbeda.
Kataمواريث adalah jama' dari ميراث dan miras itu
sendiri sebagai masdar dari ورث - يرث- ارثا - وميراثا .
Secara etimologi kata miras mempunyai
beberapa arti, di antaranya: al-baqa' (البقاء) , yang kekal;
al-intiqal(الانتقال) "yang berpindah", dan al-maurus (الموروث) yang maknanya
at-tirkah (التركة) "harta peninggalan orang yang meninggal dunia".
Ketiga kata ini (al-baqa', al-intiqal, dan at- tirkah) lebih menekankan kepada
obyek dari pewarisan, yaitu harta peninggalan pewaris.
Adapun kata fara'id (الفرائض) dalam kontek
kewarisan adalah bagian para ahli waris. Dengan demikian secara bahasa, apabila
ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu fara'id karena yang dibahas adalah
bagian para ahli waris, khususnya ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan.
Apabila dibandingkan kedua istilah di atas dalam pengertian bahasa, kata
mawaris mempunyai pengertian yang lebih luas dan lebih menampung untuk menyebut
ilmu yang membahas tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal
dunia dibandingkan istilah fara'id.
Apabila ditelusuri pemakaian kedua
istilah di atas di kalangan para ulama, tampaknya pada awalnya lebih banyak
digunakan kata fara'id daripada kata mawaris. Hal ini dapat dilihat dari
fiqh-fiqh klasik yang dalam salah satu babnya memakai judul bab al-faraid atau
kitab al-fara'id, sebagai judul pembahasan kewarisan. Adapun pada masa
belakangan menunjukkan kebalikannya, yaitu lebih banyak digunakan kata mawaris,
seperti Wahbah az-Zuhaili dalam karyanya "al-Fiqh al-Islamy wa
Adillatuhu", jilid VIII dalam bab ke-6 memberi judul babnya الميراث.
Lafad al-faraid, sebagai jamak dari
kafazd faridhah, oleh para ulam faradhiyun diartikan semakna dengan lafazd
mafrudhah, yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya. Faraid dalam istilah
mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar
kecilnya oleh syara. Sedang ilmu faraidh oleh sebagian ulama faradhiyun di ta’rifkan
“ ilmu fiqhi yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang
cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan
pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peningalan untuk setiap
pemilik harta pusaka”.
Menurut fiqih adalah apa yang
ditinggalkan oleh orang mati berupa harta atau hak-hak yang karena kematianya
itu menjadi hak ahli warisnya secara syar’i.
Ilmu faraid adalah ilmu yang mempelajari pembagian warisan dan cara penghitunganya dilihat darai kaca mata fiqih.
Ilmu faraid adalah ilmu yang mempelajari pembagian warisan dan cara penghitunganya dilihat darai kaca mata fiqih.
Istilah Fara’id adalah bahasa yang
menunjukkan bentuk plural atau jamak. Adapun bentuk mufradnya adalah “Faridah”
yang berarti: suatu ketentuan atau dapat pula diartikan bagian-bagian yang
tertentu. Di dalam hukum waris islam dikenal dengan istilah “Ilmul Fara’id”
atau disebut dengan ilmul mirats, yakni ilmu yang membahas tentang pembagian
warisan dari seseorang yang meninggal dunia.
Al-Syarbiny dalam sebuah kitabnya
Mughni al-Muhtaj juz 3 mengatakan bahwa: “Fiqih Mawaris adalah fiqih yang
berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai
kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian bagian yang wajib diterima
dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.” Dalam konteks
yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari
orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup. Wirjono
Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Warisan di Indonesia misalnya mendefinisikan
“Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia
akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.
Dengan demikian, ilmu faraidh
mencakup tiga unsur penting didalamnya:
1. Pengatahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris,
1. Pengatahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris,
2. Pengetahuan tentang bagian setiap
ahli waris, dan
3. Pengetahuan tentang cara
menghitung yang dapat berhubungan dengan pembagian harta waris.
Dari pengertian mawaris secara
bahasa di atas dapat dipahami bahwa ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu
mawaris antara lain karena yang dibahasnya adalah mengenai tata cara pemindahan
harta peninggalan orang yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti
al-intiqal), atau karena yang dibahas oleh ilmu ini ialah harta peninggalan
orang yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti tirkah).
2.2. Kedudukan
dan Urgensinya
Ilmu fara’idh atau fiqih mawaris
merupakan ilmu yang sangat penting. Oleh karena itu, Allah sendiri dan secara
langsung mengatur bagian-bagian fara’idh ini. Dia tidak menyerahkan hal
tersebut kepada malaikat atau rasul yang paling dekat sekalipun. Allah telah
menjelaskan masing-masing bagian ahli waris yang seperdua, seperempat,
seperdelapan, dua pertiga, sepertiga dan seperenam. Ini berbeda dengan
hukum-hukum lainnya, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain yang
nash-nashnya bersifat global. Allah SWT menjamin surga bagi kaum muslimin yang
melaksanakan hukum waris Islam ini.
Allah SWT berfirman. “(Hukum-hukum
tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada
Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di
dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan
yang besar” [An-Nisa: 13]. Allah SWT, mengancam dengan neraka dan adzab yang
pedih bagi orang-orang yang menyelisihi batasan-batasan fara’idh Islam
tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Dan barangsiapa yang
mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya
Allah memasukkannya kedalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya; dan
baginya siksa yang menghinakan” [An-Nisa : 14], Rasulullah SAW memerintahkan
agar umat Islam mempelajarai ilmu fara’idh dan mengajarkannya.
Amirul Mukminin Umar Ibnul Khaththab
Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pelajarilah fara’idh, sebab ia adalah bagian dari
agamamu”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata: “Pelajarilah
fara’idh, nahwu dan Sunnah sebagaimana kamu mempelajari Al-Qur’an” Ibnu Abbas
Ra, ketika menafsirkan ayat 73 surat Al-Anfal, dia menyatakan: “Jika kamu tidak
mengambil ilmu waris yang diperintahkan oleh Allah, maka pasti akan terjadi
fitnah di bumi dan kerusakan yang besar”.
Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu
berkata : “Perumpamaan orang yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak pandai
fara’idh, adalah seperti baju burnus yang tidak memiliki kepala”. Para ulama
Islam sangat peduli dan memberi perhatian yang besar terhadap ilmu ini, dengan
berdiskusi, mengajarkan, merumuskan kaidah-kaidahnya, dan menuliskannya dalam
literarur (kitab) fiqih. Ini semua karena, fara’idh merupakan bagian dari agama
Islam, diwahyukan langsung oleh Allah, dan dijelaskan serta dipraketkkan oleh
Rasulullah SAW. (Lihat Syaikh Shalih Fauzan dalam At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil
Mabahits Al-Faradhiyyah, hlm. 13-16)
2.3. Dasar-Dasar
Pewarisan Masa Jahiliyah
Orang-orang
Arab jahiliyah adalah tergolong salah satu bangsa yang gemar mengembara dan
berperang. Kehidupan mereka tergantung dari hasil jarahan dan rampasan perang
dari bangsa-bangsa yang telah mereka taklukkan, dan juga ada yang tergantung
dari hasil memperniagakan rempah-rempah. Dalam tradisi pembagian harta pusaka
yang telah diwarisi dari leluhur mereka terdapat suatu ketentuan utama bahwa
anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan dilarang mempusakai harta
peninggalan ahli warisnya yang telah meninggal dunia.Tradisi tersebut
menganggap bahwa anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan adalah sebagai
keluarga yang belum atau tidak pantas menjadi ahli waris. Sebagian dari mereka
beranggapan bahwa janda perempuan dari orang yang telah meninggal merupakan
wujud harta peninggalan yang dapat dipusakakan dan dipusakai kepada dan oleh
ahli waris yang mati. Banyak
sekali riwayat-riwayat dari para sahabat yang menceritakan hal tersebut. Ibn
Abi Thalhah, misalnya mengutib suatu riwayat Ibn Abbas r.a yang menjelaskan:
“Konon bila terjadi seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan
seorang perempuan (janda), kerabatnya melemparkan pakaiannya dimuka perempuan
tersebut. (Atas tindakan ini) maka yang melarangnya untuk dikawini oleh orang
lain. Jika perempuan tersebut cantik teru s dikawininya dan juga jelek
ditahannya sampai meninggal dunia untuk kemudian dipusakai harta
peninggalannya.” )
Bukti bahwa tradisi mewarisi janda
simati itu betul-betul terjadi pada zaman jahiliyah ialah tindakan seorang yang
bernama Mihshan bin Abu Qais al-Aslat, sesaat ayahnya meninggal dunia, ia
berhasrat mengawini janda ayahnya yang tidak diurus belanjanya dan tidak diberi
pusaka sedikitpun dari harta peninggalan ayahnya. Atas desakan dari calon
suaminya yang baru janda tersebut meminta ijin kepada Rasulullah agar
diperkenankan berkawin dengan Mihsham. Disaat itu Rasulullah belum dapat
memberikan jawaban secara spontan. Baru beberapa saat kemudian, setelah Allah
menurunkan ayat dari surat An-Nisa’: 19
“ Hai orang- orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita- wanita( janda- janda si mati) dengan cara paksaan.”
“ Hai orang- orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita- wanita( janda- janda si mati) dengan cara paksaan.”
Tata aturan pembagian harta pusaka
di dalam masyarakat jahiliyyah, sebelum Islam datang, didasarkan atas nasab dan
kekerabatan, dan itu hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu
mereka yang lelaki yang sudah dapat memenggul senjata untuk mempertahankan
kehormatan keluarga, dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan.
Orang-orang perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan pusaka. Bahkan
orang-orang perempuan, yaitu istri ayah atau istri saudara di jadikan harta
pusaka.
Kemudian, pengangkatan anak, berlaku
dikalangan jahiliyah dan apabila sudah dewasa si anak angkat mempunyai hak yang
sepenuh-penuhnya sebagaimana disyaratkan oleh bapak yang mengangkatnya. Dan
karena itu, apabila bapak angkat ini meninggal, anak angkat mempunyai hak
mewaris sepenuh-penuhnya atas harta benda bapak angkatnya.
2.4. Penentuan
Ahli Waris
Dalam penentuan ahli waris ada sebab- sebab mempusakai
yaitu ada 3 macam:
1. Adanya pertalian kerabat( qarabah)
1. Adanya pertalian kerabat( qarabah)
2.
Adanya janji prasetia( muhalafah)
3.
Adanya pengangkatan anak( tabanny atau adopsi)
Hak pusaka belum dapat digunakan sebagaimana mestinya,
selama ia tidak memiliki dua buah syarat berikut:
1.
Sudah dewasa
2.
Orang laki- laki
Pertalian-kerabat saja belum cukup kiranya dijadikan
alasan untuk menuntut hak pusaka, selagi tidak di lengkapi dengan adanya
kekuatan jasmani yang sanggup untuk membela, melindungi dan memelihara qabilah
atau sekurang- kurangnya keluarga mereka.
Dengan demikian para ahli waris jahiliyah dari
golongan kerabat semuanya terdiri dari golongan laki- laki. Mereka itu ialah :
1.
Anak laki-laki
2.
Saudara laki-laki
3.
Paman
4.
Anak paman, Yang kesemuanya harus sudah dewasa.
Janji-prasetia itu baru terjadi dan mempunyai kekuatan
hukum, bila salah seorang pihak telah mengikrarkan janji prasetianya kepada
pihak lain, dengan ucapan (sumpah). Pengangkatan
Anak Seorang yang telah mengambil anak laki- laki orang lain untuk di pelihara
dan dimasukkan didalam keluarga yang menjadi tanggungannya menjadi bapak angkat
terhadap anak yang telah diadopsi dengan berstatus anak nasab. Anak angkat
tersebut bila sudah dewasa dan bapak angkatnya meninggal dunia, dapat
mempusakai harta peninggalan bapak angkatnya seperti anak keturunannya sendiri
.
2.5. Hukum Waris
Masa Awal Islam
Pada masa awal-awal Islam, hukum kewarisan belum
mengalami perubahan yang berarti. Di dalamnya masih terdapat
penambahan-penambahan yang lebih bekonotasi strategis untuk kepentingan dakwah,
atau bahkan “politis”. Tujuannya adalah, untuk merangsang persaudaraan demi
perjuangan dan keberhasilan misi Islam. Pertimbangannya, kekuatan Islam pada
masa itu, dirasakan masih sangat lemah baik sebagai komunitas bangsa maupun
dalam pemantapan-pemantapan ajarannya, yang masih dalam dinamika perubahan.
2.6. Dasar-Dasar Penentuan Ahli Waris
Dasar penentuan ahli waris pada zaman awal-awal islam
masih mengunakan adat yang berlaku diantaranya:
1. Pertalian kerabat (Al-Qarabah);
2. Janji prasetia (Al-bilf wa al
mu`aqadah);
3. Pengangkatan anak (Al-tabanni)
atau adopsi;
4. Hijrah dari Mekah ke Madinah;
5. Ikatan persaudaraan (Al-muakhah)
antara orang-orang Muhajirin (pendatang) dan orang-orang Anshor, yaitu
orang-orang Madinah yang memberikan pertolongan kepada kaum muhajirin dari
Mekah di Madinah.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Fiqh mawaris adalah ilmu yang
membahas dan mengatur harta orang yang sudah meninggal dengan tatacaranya.
Fiqih mawaris adalah istilah yang kutang popular dikalangan ulama, para ulama
mengunakan istilah faraid. Dapat disimpulkan bahwa suatu proses meneruskan
serta mengoperkan harta benda keluarga, oleh karena proses maka pewarisan sudah
dimulai ketika orang tua masih hidup. Dari satu generasi (orang tua) kepada
turunannya, oleh karena itu ahli waris utama dalam hukum adat adalah anak
turunnya pewaris, Peralihan harta Pewarisan tidak menjadi akuut
dengan meninggalnya salah satu orang tua, artinya ketika orang tua
meningal dunia harta bendanya tidak harus segera dibagi.
3.2. Kritik dan Saran
Demikian yang dapat kami paparkan
mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini. Tentunya masih
banyak sekali kekurangan dan kelemahanya, karena keterbatasan pengetahuan dan
kurangnya rujukan atau refrensi yang ada hubunganya dengan makalah ini. Penulis
banyak berharap kepada para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan
makalah pada berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penullis khususnya
juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSRAKA
Rahman Fatchur, Ilmu Waris, Bandung; PT. Alma’arif, 1971.Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta; PT. Rineka Cipta.Ali as-Sabuny, Muhammad, al-Mawaris fi asy-Syari'ah al-Islamiyyah fi Dau al-Kitab a as-Sunnah, 1989.Az-zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta; Darul Fikir, 2011.Al-Fauzan, Saleh, fiqih Sehari-Hari, Jakarta; Gema Insani Press, 2005.
Comments