PENDAHULUAN
Secara biologis, manusia dengan
binatang ternak tidak memiliki perbedaan. Keduanya merupakan jenis makhluk
hidup yang berjenis hewan. Akan tetapi manusia boleh berbangga hati, karena
Allah menganugerahinya akal fikiran yang membuat manusia bisa memanfaatkan
binatang ternak, namun tidak sebaliknya. Secara anatomis manusia sebenarnya
tidak benar bila berkagum-kagum diri, karena anggota-anggota tubuh yang
dipunyainya, dipunyai pula oleh binatang ternak.
Moralitaslah yang membuat manusia
menjadi benar-benar berbeda dengan binatang ternak. Bagi binatang ternak, hidup
bebas sebebasnya tanpa aturan adalah pola hidupnya, akan tetapi bagi manusia
alur hidupnya terkontrol oleh aturan tata nilai kebenaran, yang secara fitrah
dipancarkan oleh hati nuraninya. Dan dengan akal fikirannya, manusia dapat
mengendalikan tarikan instink biologis kebinatangannya, sehingga menjadi
teratur berada dalam norma-norma yang ada. Tanpa moral, maka hidup manusia
tidak lebih dari hidupnya seekor binatang ternak, bahkan Allah menjaminkannya
sebagai para penghuni neraka di akhirat kelak.
Adanya bangsa ternak asli di seluruh
Indonesia seperti sapi, kerbau, kambing, domba, babi, ayam dan itik, memberikan
petunjuk bahwa penduduk pertama Indonesia telah mengenal ternak sekurang-kurangnya
melalui pemanfaatannya sebagai hasil buruan.
Usaha peternakan di Indonesia telah
dikenal sejak dahulu kala. Namun pengetahuan tentang kapan dimulainya proses
domestikasi dan pembudidayaan ternak dari hewan liar, masih langka.
Domestikasi merupakan pengadopsian tumbuhan dan hewan dari kehidupan
liar ke dalam lingkungan kehidupan sehari-hari manusia. Dalam arti yang
sederhana, domestikasi merupakan proses "penjinakan" yang dilakukan
terhadap hewan liar. Perbedaannya, apabila penjinakan lebih pada individu,
domestikasi melibatkan populasi, seperti seleksi, pemuliaan (perbaikan
keturunan), serta perubahan perilaku/sifat dari organisme yang menjadi
objeknya.
Perkiraan awal domestikasi hewan
dilakukan arkeolog berdasarkan nalar logika dari hasil temuan di situs
purbakala. Bukti tertua adanya hewan peliharaan adalah kerangka anjing berusia
sekitar lima bulan di sisi kerangka seorang perempuan yang ditemukan di dekat
Ain Mahalla (Israel), yang berusia hampir 10.000 tahun SM. Kerangka-kerangka
anjing dari masa antara 8.000 dan 7.000 SM juga ditemukan pada situs-situs purbakala
di banyak tempat. Kerangka kucing peliharaan tertua ditemukan di Siprus,
berasal dari sekitar 6.000 tahun SM. Diperkirakan, kucing dipelihara untuk
mengatasi gangguan tikus di lumbung pangan. Perkiraan untuk hewan ternak
domestik adalah 7.000 SM pada domba dan kambing. Terlihat bahwa dulu hewan
tersebut memiliki tanduk yang melengkung, yang pada ternak modern telah berubah
menjadi pendek saja akibat seleksi.
PENGERTIAN DOMESTIKASI
A.
Pengertian Istilah Hewan, Binatang dan Ternak
Sebelum kita membahas lebih jauh
tentang pengertian dan proses domestikasi ternak. Ada perbedaan arti secara
definisi ilmu peternakan antara hewan, binatang, dan ternak. Hewan adalah
segala mehluk hidup selain manusia, yang hidup baik didaratan maupun dilautan
yang tidak dapat membuat makanan sendiri.
Sedangkan definisi dari binatang adalah
semua hewan yang hidup di darat dan belum mengalami penjinakan oleh manusia
atau masih hidup di alam liar (hutan). Sehingga dalam kehidupanya belum dapat
diatur dalam hal pakanan, reproduksi atau perkembangbiakan, dan tempat
tinggalnya. Sehingga belum dapat dimanfaatkan secara luas oleh manusia.
Ternak secara definisi adalah semua
hewan yang sudah dijinakkan oleh manusia atau melalui proses domestikasi.
Ternak sudah dapat diatur dalam hal pakan, perkembangbiakan dan tempat
tinggalnya, selain itu ternak dapat diolah dan diambil manfaatnya untuk
keperluan hidup manusia. Baik diambil daging, telur, susu, kulit, bulu, tenaga,
maupun kecantikan atau keindahanya.
Oleh karena itu terdapat perbedaan yang jelas antara
hewan, binatang dan ternak ditinjau dalam ilmu peternakan. Sehingga dengan
adanya ternak akan membawa manusia pada era industrialisasi modern dalam
penyediaan pangan serta produk-produk industri lainnya. Program pemuliaan
ternak dan rekayasa gen yang andal, pengetahuan manajemen yang wahid, ilmu
pakan yang bermutu tinggi, dan berbagai produk makanan dari hasil ternak tidak
dapat diremehkan peranannya. Pengetahuan manusia tentang binatang ternak jika
dihimpun dari dulu sampai sekarang barangkali tidak lebih dari sebutir debu di
padang pasir yang luas. Hanya Allah-lah yang mengetahui semuanya itu, karena
Allah-lah yang menciptakan semuanya itu dari tidak ada menjadi ada.
B.
Pengertian Domestikasi
Domestikasi merupakan pengadopsian tumbuhan dan hewan dari kehidupan
liar ke dalam lingkungan kehidupan sehari-hari manusia. Dalam arti yang
sederhana, domestikasi merupakan proses "penjinakan" yang dilakukan
terhadap hewan liar. Perbedaannya, apabila penjinakan lebih pada individu,
domestikasi melibatkan populasi, seperti seleksi, pemuliaan (perbaikan keturunan),
serta perubahan perilaku/sifat dari organisme yang menjadi objeknya.
Domestikasi adalah keadaan dimana
breeding, pemeliharaan dan pemberian pakan berada dibawah pengawasan manusia
(Hale, 1969). Domestikasi ternak diperkirakan dilakukan dalam kaitan dengan
kepastian penyediaan sumber pangan, sandang (kulit dan rambutnya dijadikan
bahan pakaian), serta sebagai komoditi perdagangan.
Domestikasi tumbuhan maupun hewan
adalah sebuah proses panjang, yang memerlukan waktu lama serta dana dan daya
yang besar. Di dalamnya terlibat berbagai kegiatan penelitian yaitu :
inventarisasi, karakterisasi, kajian potensi, seleksi, penangkaran, dan
pemuliaan untuk pemanfaatan berkelanjutan. Sebagai gambaran, tanaman kelapa
sawit memerlukan proses domestikasi selama lebih dari 100 tahun untuk dapat
dimanfaatkan secara ekonomi seperti sekarang ini. Sebaliknya ada beberapa jenis
tumbuhan yang tidak memerlukan waktu lama untuk dapat didomestikasi, sebagai
contoh adalah Aglaonema sp. ternyata hanya memerlukan waktu tidak lebih dari 3
tahun untuk menjadi tanaman hias.
Pengalaman mengajarkan bahwa
domestikasi secara konvensional memerlukan waktu yang panjang, karena itu
dibutuhkan suatu terobosan untuk mempercepat proses domestikasi antara lain
melalui teknik pemuliaan dan rekayasa genetika. Oleh karenanya, untuk menjamin
percepatan proses domestikasi diperlukan program penentuan prioritas yang
didukung komitmen oleh semua pihak yang terkait, serta dukungan dana dan sumber
daya serta pengetahuan dan teknologi yang memadai.
Menurut Zairin
(2003), ada beberapa tingkatan yang dapat dicapai manusia dalam upaya
penjinakan hewan ke dalam suatu sistem budidaya. Tingkatan dimaksud,
sebagaimana berlangsung pada ikan, adalah sebagai berikut.
1.
Domestikasi
sempurna, yaitu apabila seluruh daur hidup ikan sudah dapat berlangsung dalam
sistem budidaya.
2.
Domestikasi
hampir sempurna, yaitu apabila seluruh daur hidupnya dapat berlangsung dalam
sistem budidaya, tapi keberhasilannya masih rendah.
3.
Domestikasi
belum sempurna, yaitu apabila baru sebagian daur hidupnya dapat berlangsung
dalam sistem budidaya.
PROSES DAN
PENGARUH DOMESTIKASI
A.
Proses Domestikasi Ternak
Bersama dengan domestikasi tumbuhan
penghasil pangan, domestikasi hewan adalah salah satu langkah penting yang
dilakukan umat manusia. Di dunia, praktis hanya dua lokasi yang pernah
melakukan domestikasi awal hewan ternak yang dilakukan sebelum budidaya tanaman
pangan dilakukan, yaitu Asia Barat Daya (untuk domba, kambing, sapi, dan babi)
dan Datara Tinggi Andes (untuk alpaka dan llama.
Domestikasi ternak diperkirakan dilakukan dalam kaitan
dengan kepastian penyediaan sumber pangan, sandang (kulit dan rambutnya
dijadikan bahan pakaian), serta di kemudian hari sebagai komoditi perdagangan.
Menurut ahli biologi Jared Diamond(2004), hewan harus memenuhi enam kriteria
agar dapat dipertimbangkan untuk didomestikasi:
1. Pakannya mudah
didapatkan. Hewan tersebut harus mau memakan makanan yang berada di luar
piramida makanan manusia (gandum atau jagung), pakannnya tidak digunakan oleh
manusia (rumput, dan sebagainya), dan ekonomis untuk penyimpanannya.
2. Pertumbuhannya
dengan cepat sehingga mempercepat proses perkembangbiakkan dan dimanfaatkan.
Hewan besar seperti gajah membutuhkan waktu tahunan hingga dapat dipergunakan.
3. Memungkinkan
untuk dikembangbiakkan dalam penangkaran.
4. Tidak agresif.
5. Tidak mudah
stres.
6. Memiliki
hierarki sosial yang dapat dimodifikasi.
Karena syarat-syarat itulah, kebanyakan domestikasi
dilakukan pertama-tama untuk keperluan kesenangan semata sebagai hewan timangan
(pet). Banyak jenis ikan dan reptilia masa kini mulai ditangkarkan untuk
keperluan sebagai peliharaan, namun perilaku liarnya masih terbawa hingga
sekarang. Domestikasi memerlukan puluhan generasi untuk mendapatkan galur-galur
yang benar-benar adaptif dengan lingkungan buatan manusia, dikarenakan
domestikasi konvensional memerlukan waktu yang panjang.
Hewan Domestik Terpilih:
No
|
Hewan
Peliaraan
|
Awal Proses
|
Mayong
Liar
|
Tempat
Awal
|
1
|
7.000 SM
|
Irak, Iran, Asia Barat Daya
|
||
(Ovis orientalis aries)
|
||||
2
|
7.000 SM
|
|||
(Capra aegagrus hircus)
|
||||
3
|
Anatolia, Asia Barat Daya
|
|||
(Sus scrofa domestica)
|
||||
4
|
6.500 SM
|
Asia Barat Daya dan Eropa,
|
||
(Bos primigenius taurus)
|
India, Timur Tengah, and
Sub-Sahara
|
|||
5
|
6.000 SM
|
Sungai Indus, Asia Tenggara
|
||
(Gallus gallus domesticus)
|
||||
6
|
4.000 SM
|
Ukrainadan padang Eurasia
|
||
(Equus ferus caballus)
|
||||
7
|
4.000 SM
|
|||
(Bubalus bubalis)
|
||||
8
|
3.000 SM
|
Jazirah Arab dan Asia Tengah
|
||
9
|
2.500 SM
|
|||
(Bos javanicus)
|
Sumber: Ronnie
Liljegren. Die Domestizierung von Tieren. Dalam: Göran Burenhult (2004).
Menschen der Urzeit. Karl Müller.
Ada beberapa pola yang dikembangkan,
yaitu game ranching dan game farming:
1.
Game ranching
adalah penangkaran yang dilakukan dengan sistem pengelolaan yang ekstensif. Ada
dua arti yang berbeda (Robinson dan Bolen. 1984), pertama, suatu kegiatan
penangkaran yang menghasilkan satwa liar untuk kepentingan olah raga berburu,
umumnya jebis binatang eksotik, kedua, adalah kegiatan penangkaran satwa liar
untuk menghasilkan daging, kulit, maupun binatag kesayangan, seperti burung,
ayam hutan dan sebagainya. Pola penangkaran ini telah berkembang di Afrika,
Amerika Serikat dan Australia. Di Indonesia sendiri pola ini telah di coba
dikembangkan untuk jenis-jenis ayam hutan, burung, reptil (buaya, ular, penyu)
dan ungulata (rusa, banteng).
2.
Pola yang kedua
adalah game farming, yaitu kegiatan penangkaran satwa liar dengan tujuan untuk
menghasilkan produk-produk seperti tanduk, kulit, bulu, minyak dan
taring/gading/tanduk. Dalam pola ini dikembangkan juga penjinakan untuk
keperluan tenaga kerja, misalnya gajah.
Prinsip
penangkaran adalah pemeliharaan dan perkembangbiakaan sejumlah satwa liar yang
sampai pada batas-batas tertentu dapat diambil dari alam, tetapi selanjtnya
pengembanganya hanya diperkenankan diambil dari keturunan-keturunan yang
berhasil dari penangkaran tersebut. Ada empat syarat untuk mengembangkan
komoditi domestik melalui penangkaran agar diperoleh hasil maksimal, yaitu ;
1.
Obyek (satwa
liar), perlu memperhatikan populasinya di alam apakah mencukupi atau tidak,
kondisi species (ukuran badan, perilaku) dan proses pemeliharaan sertta
pemanfaatannya.
2.
Penguasaan ilmu
dan teknologi, meliputi pengetahuan tentang ekologi satwa liar serta
dikuasainya teknologi yang sesuai dengan keadaan perkembangan dunia.
3.
Tenaga terampil
untuk menggali dasar ekologi ataupun cara pengeloalaan pada proses penangkaran.
4.
Masyarakat,
berkaitan erat dengan sosial budaya dan diharapkan sebagai sasaran utama dalam
proses pemasaran produk.
Penangkaran dalam rangka budi daya
dilakukan dengan sasaran utama komersil terutama dari segi peningkatan
kualitasnya, sehingga metode yang diterapkan lebih ditujukan untuk peningkatan
jumlah produksi yang ditentukan oleh kaidah-kaidah ekonomi dan dikendalikan
pasar. Metode ini menerapkan teknologi reproduksi yang tinggi, seperti :
inseminasi buatan, tranplantasi embrio, agar dapat dihasilkan keturunan jantan
yang baik, sehingga terjadi peningkatan.
Suatu alasan yang sangat penting agar
peternakan satwa liar dapat dikembangkan adalah karena satwa liar mempunyai daya
adaptasi yang lebih tinggi dibandingkan ternak lain, Hal-hal penting yang perlu
diperhatikan untuk memperbesar kemungkinan domestikasi/penangkaran adalah
anggapan bahwa satwa liar tidak dapat didomestikasikan adalah karena kualitas
keliaran. Hal ini sama sekali tidak benar, sebab mamalia liar dapat dijinakan
sama mudahnya seperti yang lain (Ertingham. 1984).
B.
Perubahan Yang Disebabkan Oleh Domestikasi
Perkembangan
usaha peternakan telah sampai pada upaya perluasan jenis-jenis hewan yang
diusahakan untuk diambil hasilnya. Manusia telah mendomestikasi 20 – 3000
spesies hewan. Hewan yang didomestikasi harus menerima sejumplah perubahan
dalam pola kehidupanya, sebab manusia memelihara hewan tersebut untuk diambil
hasilnya. Hal ini telah diringkas oleh Kilgour dan Dalton (1984), yang
meliputi:
a) Pengawasan
terhadap breeding
Mengurangi
jumplah pejantan dan atau menggunakan inseminasi buatan. Dengan teknologi alih
janin, betina dapat melahirkan anak tanpa adanya pejantan (diinseminasi).
b) Bentuk
perubahan kemampuan hidup
Ternak yang
lemah dapat ditolong untuk hidup, penyakit dan parasit dapat dikontrol.
c) Perubahan
nutrisi
Kwantitas dan
kwalitas pakan dimanipulasi dan jenis pakan dapat dikurangi.
d) Seleksi
genetika
Hal ini dapat merubah
hewan tersebut lain dari sesamanya dalam keadaan liar.
e) Pengurangan
dalam pemilikan bebas
Pada umumnya,
alasan utama manusia melakukan budidaya satwa liar adalah karena alasan
ekonomis yang berasal dari bermacam-macam produk, misalnya: daging, minyak,
gading/tanduk/taring, kulit sampai pada pemanfaatan bulu dan nilai keindahan
dari kekhasannya. Salah satu cara budi daya dan pengembangan satwa liar menjadi
komoditi domesti adalah domestikasi atau penangkaran tersebut, sehingga
kepastian penyediaan sumber pangan, sandang (kulit dan rambutnya dijadikan
bahan pakaian), serta di kemudian hari sebagai komoditi perdagangan bagi
manusia dapat terpenuhi.
DAFTAR PUSTAKA
http://teknologi.kompasiana.com/group/terapan/2010/09/08/. Robinson dan Bolen. 1984. pemanfaatan plasma-nutfah-peternakan-dengan-domestikasi/. Diakses, Minggu,12 September 2010, jam 14.00 WIB.
http://aagguussdaus.blogspot.com/2009/12/domestikasi-sapi-madura.html. Ertingham. 1984. Diakses, Minggu,12 September 2010,
jam 14.10 WIB.
http://id.wikipedia.org/wiki/Domestikasi. Zairin. 2003.
Diakses, Minggu,12 September 2010, jam 14.15 WIB.
http://drhyudi.blogspot.com/2010/09/sejarah-usaha-peternakan-di-indonesia.html. Jared Diamond. 2004.
Diakses, Minggu,12 September 2010, jam 14.00 WIB.
Rabu, 8 Desember 2010 - Karena perilaku sosial memiliki komponen genetik, suatu
sifat sosial memiliki kemampuan untuk menjalankan seluruh generasi dan
berevolusi.
Kemampuan mentolerir agresi sebagian
adalah bersifat genetik, demikian menurut ilmuwan hayati UCLA dalam studi
pertama yang menunjukkan komponen genetik pada sifat jaringan sosial dalam
populasi non-manusia.
“Kemampuan untuk mentolerir agresi
diturunkan dari generasi ke generasi, terdapat variasi genetik dalam kemampuan
agresi mentolerir,” kata rekan penulis studi, Daniel T. Blumstein, profesor dan
kepala ekologi dan biologi evolusi
di UCLA.
Blumstein, pemimpin dalam bidang
penerapan statistik jaringan sosial pada hewan, bersama koleganya mempelajari
empat kelompok marmut berperut kuning, yang berkerabat dengan tupai. Studi ini
dilakukan lebih dari enam tahun di Pegunungan Rocky Colorado. Setiap kelompok
meliputi 15 hingga 30 ekor marmut.
Untuk mempelajari perilaku sosial
hewan, ahli biologi menerapkan jenis statistik jaringan sosial yang sama yang
digunakan oleh Google dan Facebook dalam mempelajari tingkah laku manusia.
“Kami memperoleh wawasan baru ke
dalam pentingnya mentoleransi interaksi agresif,” kata Blumstein. “Hubungan itu
adalah penting bagi stabilitas sosial dan keberhasilan reproduksi. Saya percaya
ide ini digeneralisasikan melampaui marmut.”
Penelitian ini, yang didanai oleh
National Science Foundation dan National Geographic Society, telah
dipublikasikan dalam edisi awal jurnal online Proceedings of the
National Academy of Sciences dan akan muncul pada tanggal 14 Desember dalam
edisi cetak jurnal.
Penulis utama makalah ini, Amanda
Lea, seorang mantan mahasiswi UCLA yang kini menjabat asisten peneliti dalam
biologi ekologi dan evolusi, menghabiskan dua musim panas untuk mengamati
marmut selama empat jam sehari dan menganalisis perilaku mereka – dilakukan
dari jarak yang cukup jauh agar tidak mempengaruhi perilaku mereka.
“Kami menemukan bahwa memiliki
interaksi yang ramah, banyak memberi manfaat bagi kebugaran marmut –
marmut-marmut ini lebih banyak bereproduksi. Tapi yang mengherankan, kami
menemukan bahwa marmut yang terlibat dalam jaringan interaksi yang tidak ramah
juga menunjukkan tingkat kebugaran yang lebih tinggi,” kata Lea. “Selama seumur
hidup, seekor marmut yang sangat sosial akan memiliki keturunan lebih banyak
daripada yang kurang sosial. Tapi herannya, seekor marmut yang sering memilih
pun demikian.”
“Unit keluarga adalah penting,
bahkan jika interaksi mereka tidak selalu menyenangkan,” kata Blumstein.
Seperti manusia, beberapa marmut
cukup ramah, beberapa tetap untuk diri mereka sendiri dan yang lainnya lebih
agresif, kata Lea. Mereka hidup dalam kelompok keluarga, pengantin pria dengan
yang lainnya, duduk berdampingan satu sama lain, bermain bersama dan, lebih
jarang, berkelahi. Mereka hidup hingga 15 tahun, kata Blumstein.
Marmut betina biasanya memiliki 3-9
keturunan dalam setahun dan bisa menghasilkan 60 keturunan selama seumur hidup.
Beberapa pejantan bisa memiliki sebanyak 150 keturunan atau lebih, meskipun
sebagian besar jauh lebih sedikit, kata Blumstein.
Blumstein, Lea dan para kolega
menerapkan statistik jaringan sosial, analisis komputasi dan genetik
kuantitatif pada perilaku sosial marmut. Mereka meneliti, misalnya, apakah
interaksinya ramah atau agresif, dan mereka menerapkan teknik statistik sains
untuk memperkirakan heritabilitas sifat dan apakah sifat tertentu berkorelasi
dengan keberhasilan reproduksi.
Bersama rekan-rekannya, Blumstein,
yang telah mempelajari marmut selama lebih dari 20 tahun untuk studi tentang
biologi dan evolusi mereka, menghitung komponen genetik untuk perilaku sosial marmut.
Faktor-faktor genetik beberapanya terdapat perbedaan 10 persen di antara
marmut, sedangkan sekitar 20 persen variasinya disebabkan oleh lingkungan
sosial.
“Terdapat komponen genetik untuk
perilaku sosial tertentu, dan kami telah menghitungnya,” kata Blumstein.
Karena perilaku sosial memiliki
komponen genetik, suatu sifat sosial memiliki kemampuan untuk menjalankan
seluruh generasi dan berevolusi.
“Statistik jaringan sosial bisa
menjadi cara yang berguna untuk mempelajari berbagai hewan dan memahami evolusi
sosial,” kata Blumstein. “Studi ini menunjukkan bahwa sifat-sifat yang kami
definisikan dengan menggunakan analisis jaringan sosial, dapat berevolusi, dan
belum pernah ada yang menunjukkan hal seperti ini sebelumnya.”
Para ilmuwan hayati membuat prediksi
dan menemukan beberapa hasil yang mengejutkan.
“Kami memperkirakan bahwa hubungan
langsung dan cepat, di mana suatu individu memiliki kendali, mungkin memiliki
heritabilitas yang lebih tinggi (secara genetik) dari hubungan tidak langsung,”
kata Blumstein.
“Kami menemukan bahwa tindakan
langsung diwariskan dan tindakan tidak langsung tidak diwariskan, kami menduga
akan hal ini,” katanya. “Namun, dalam hubungan langsung, Anda mungkin berharap
bahwa hal yang saya lakukan pada Anda, hal-hal di mana saya memiliki kendali,
akan memiliki heritabilitas yang signifikan, tapi apa yang kami temukan adalah
sebaliknya: kemampuan untuk mentolerir agresilah yang diwariskan, dan kami
menemukan hal yang menarik itu. Toleransi agresi adalah, secara mengherankan,
sangat penting pada marmut dan mungkin pada spesies lain.”
“Banyak orang mungkin tidak mengakui
manfaat dari interaksi agresif, bahkan jika Anda berada di sisi penerima,” kata
Lea.
Blumstein mengatakan bahwa temuan
ini berimplikasi penting untuk mengapa hewan bersifat sosial.
Marmut-marmut di Colorado ini telah
diteliti sejak tahun 1962 – salah satu penelitian hewan yang paling lama.
Blumstein telah mempelajari marmut di seluruh dunia, dan yang satu ini selama
lebih dari satu dekade.
“Setelah kami memiliki silsilah yang
bagus, pemahaman yang baik tentang hubungan genetik di antara mereka, kami bisa
mengajukan pertanyaan tentang berbagai perilaku heritabilitas – kemampuan
perilaku yang akan diwariskan dari generasi ke generasi,” katanya.
Mengapa Blumstein mengabdikan begitu
banyak penelitian untuk mempelajari hewan-hewan ini?
“Sebagian besar spesies tidak
memiliki tempat tinggal tetap, tapi marmut punya, dan karena mereka memiliki
tempat tinggal, Anda bisa mengatur kemah dan mempelajari mereka,” katanya.
“Anda dapat pergi ke dalam liang mereka setiap hari dan menyaksikan mereka.
Kita bisa belajar banyak tentang evolusi, nilai adaptif sosialitas serta nilai
adaptif komunikasi yang kompleks dengan mempelajari marmut dan tupai tanah.”
prilau
Perilaku meliputi aktivitas yang dapat diamati, baik yangberkenaan dengan gerak ataupun tidak, sepertipenyimpanan memori dalam otak hewan
Comments