Aflatoksin Pada Pakan Unggas


PENDAHULUAN
Seiring dengan upaya peningkatan produksi pakan, aspek mutu pakan menjadi fokus utama dari masyarakat industri pakan, mengingat pakan berperanan penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas produk pangan asal ternak. Sistem keamanan pangan asal ternak secara nasional yang dikenal selama ini masih difokuskan pada aspek-aspek pasca panen. Padahal
sistem keamanan pangan asal ternak yang secara komprehensif melibatkan dari proses produksi ternak sampai penanganan pasca panen sudah di terapkan di negara-negara benua Eropa dan Amerika (Joelal, 2007).
Pada ternak unggas yaitu ayam, itik, dan puyuh, pakan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan untuk mengasilkan daging dan telur yang baik, demikian juga dengan peternakan hewan kecil atau pun hewan besar lainya. Kualitas pakan ternak ditentukan oleh bahan dasar dimana bahan dasar kurang baik dapat mengasilkan racun seperti racun Aflatoksin. Racun Aflatoksin ini di hasilkan oleh sejenis jamur Aspergilus flayus yang tumbuh pada makanan. Beberapa bahan makanan yang sering di tumbuhi oleh jamur ini adalah
Ø  Jagung
Ø  Bungkil kacang tanah
Ø  Copra/bungkil kelapa.
Oleh karena itu, untuk menghindarkan bahaya keracunan Aflatoksin, diusahakan agar bahan tersebut digunakan seminimal mungkin Widiastuti et al.(1988) menyatakan adanya keterkaitan yang erat antara kadar Aflatoksin pada jagung dan kadar Aflatoksin pada pakan jadi. Bila kandungan Aflatoksin pada jagung sebagai bahan dasar pakan tinggi, maka pakan jadi akan mempunyai kandungan Aflatoksin yang tinggi pula. Aflatoksin sangat berbahaya bagi unggas, sehingga dapat menurunkan produktivitas seperti adanya penurunan bobot badan, penurunan produksi telur dan dapat pula menyebabkan kematian (Murni, 1993).


TINJAUAN KEPUSTAKAAN
v  Pakan  Unggas.
Kenaikan permintaan komoditas peterrnakan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin terpacu dengan adanya pertambahan jumlah penduduk, pendapatan serta meningkatnya kesadaran akan gizi dan kesehatan masyarakat. Di lain pihak, daya produksi ternak lokal kita masih tergolong rendah  sehingga target minimal konsumsi protein asal hewani asal ternak belum terpenuhi.
Pada peternakan unggas terutama ayam petelur, ayam pedaging dan itik, pakan merupakan faktor utama dalam berproduksi. Kebutuhan zat gizi unggas untuk pertumbuhan dan produksi telur dan daging harus disediakan oleh peternak, sehingga dengan demikian biaya yang dibutuhkan untuk pembelian pakan cukup tinggi yaitu kira-kira 59-69% dari biaya produksi (Agdex, 1992). Oleh karena itu pemberian makanan yang murah tetapi mengandung zat gizi yang dibutuhkan aman dan sehat sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan usaha peternakan unggas.
Bila ternak diberi pakan yang kurang memenuhi standar baik kualitas maupun kuantitasnya, maka akan terjadi penurunan produksi. Untuk itu, kemampuan untuk memilih pakan berkualitas tinggi mutlak dimiliki. Makanan ternak memegang peranan yang sangat penting dalam dunia peternakan. Oleh sebab itu, peternak perlu memperhatikan masalah pakan ini, terutama segi kualitasnya. Sebab, bila ternak diberi pakan dalam jumlah yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya maka ternak tersebut dapat berproduksi secara optimal (Anonimus, 2008).
Selain memiliki kemampuan dalam memilih dan menggunakan pakan yang berkualitas, peternak juga harus memperhatikan masalah penyimpanan, karena pemilihan pakan yang baik tanpa didukung oleh penyimpanan yang memenuhi syarat hanya akan sia-sia. Yunus (1990), menyampaikan panduan bagaimana memilih pakan ternak yang baik.


v  Syarat Pakan yang Baik
Pakan ternak yang baik menurut Yunus, adalah pakan ternak yang hanya sedikit sekali mengalami perubahan, sehingga tidak mengalami penurunan nilai gizi. Pakan yang baik ditandai oleh tidak adanya kerusakan-kerusakan pada pakan tersebut, baik fisik, kimiawi maupun biologis, antara lain :
·         Kerusakan fisik
Kerusakan ini terjadi pada bentuk luar/fisik pakan, yang ditandai dengan adanya keadaan umum pakan yang sudah berbeda dengan pakan yang masih baik. Ini dapat diketahui dengan pengamatan makroskopis (pengamatan indra kita). Pakan juga mengalami kelainan bentuk, terlihat dengan adanya lobang-lobang, kulitnya mengelupas atau pecah-pecah. Kelainan ini dapat diakibatkan karena adanya cendawan maupun serangga.
·         Kerusakan kimiawi
Kerusakan ini terjadi pada komposisi kimia dari pakan yang disebabkan oleh adanya proses-proses kimia tertentu. Misalnya terjadi fermentasi pada karbohidrat, ketengikan pada lemak, dan pembusukan pada protein, sehingga terjadi penurunan nilai gizi dari pakan tersebut.
·         Kerusakan biologis
Terjadi akibat adanya aktivitas makhluk hidup pada pakan sehingga selain terjadi penurunan nilai gizi juga tak jarang mengakibatkan gangguan kesehatan pada ternak yang mengkonsumsinya. Sebagai contoh adanya serangga pada pakan. Sejumlah besar serangga dapat menimbulkan kerusakan dengan menimbulkan panas, kenaikan kadar air, atau pencemaran kimiawi oleh kotorannya. Contoh lain adalah kerusakan oleh mikotoksin yang dihasilkan oleh cendawan-cendawan tertentu. Unggas sangat peka terhadap kerusakan yang diakibatkan mikotoksin (Anomimus, 2008).


v  Cemaran Pakan Unggas
Jagung merupakan bahan dasar utama yang di butuhkan untuk membuat pakan ternak unggas. Kualitas jagung untuk pakan ternak unggas antara lain ditentukan oleh ada tidaknya cemaran aflatoksin pada jagung tersebut. Kandungan aflatoksin yang tinggi pada jagung sebagai bahan dasar pakan ternak akan menyebabkan kontaminasi aflatoksin yang tinggi pula pada pakan jadinya, karena sekitar 50% bahan dasar pakan unggas berasal dari jagung sebagai sumber karbohidrat (Budiarso 1995).
Oleh karena itu, penanganan pasca panen bahan pakan (jagung) yang kurang tepat akan mempercepat pertumbuhan kapang yang selanjutnya akan meningkatkan kadar aflatoksin pada pakan. Pencampuran bahan asing lain ke dalam bahan baku pakan, baik disengaja maupun tidak sengaja, akan menurunkan kualitas pakan. Proses pencemaran jagung yang terkontaminasi oleh aflatokin dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar .1. Proses pencemaran jagung oleh aflatoksin
Tindakan ini juga akan meningkatkan risiko cemaran pada pakan. Bahan asing yang biasa dicampurkan ke dalam bahan pakan adalah bonggol jagung dan sekam pada dedak atau bekatul. Pakan dalam bentuk tepung lebih mudah tercemar dibandingkan bila dalam bentuk butiran. Jagung atau bahan baku lain dalam bentuk utuh atau butiran masih mempunyai pelindung dibandingkan terhadap cemaran cendawan (Yanuarti, 2004). Jika pakan yang tercemar aflatoksin diberikan kepada ternak unggas (ayam atau itik), residu aflatoksin akan terdapat pula pada produk ternaknya seperti telur, daging dan hati. Kandungan aflatoksin pada produk ternak akhirnya akan mempengaruhi kesehatan konsumen yang mengkonsumsinya (Budiarso 1995).
Aflatoksin adalah senyawa racun yang dihasilkan oleh metabolit sekunder kapang Aspergillus flavus dan A.parasiticus. Kapang ini biasanya ditemukan pada pakan yang mengalami proses pelapukan (Diener dan Davis 1969), antara lain jagung. Pertumbuhan aflatoksin dipacu oleh kondisi lingkungan dan iklim, seperti kelembapan suhu, dan curah hujan yang tinggi. Kondisi seperti itu biasanya ditemui di negara tropis seperti Indonesia (Diener dan Davis, 1969).
v  Aflatoksin
Aflatoksin merupakan segolongan senyawa toksin (mikotoksin, toksin yang berasal dari fungi) yang dikenal mematikan dan karsinogenik bagi manusia dan hewan. Spesies penghasilnya adalah segolongan fungi (jenis kapang) dari genus Aspergillus, terutama A. flavus (dari sini nama “afla” diambil) dan A. parasiticus yang berasosiasi dengan produk-produk biji-bijian berminyak atau berkarbohidrat tinggi. Kandungan aflatoksin ditemukan pada biji kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai, pistacio, atau bunga matahari), rempah-rempah (seperti ketumbar, jahe, lada, serta kunyit), dan serealia (seperti gandum, padi, sorgum, dan jagung). Aflatoksin juga dapat dijumpai pada susu yang dihasilkan hewan ternak yang memakan produk yang terinfestasi kapang tersebut. Obat juga dapat mengandung aflatoksin bila terinfestasi kapang ini.
Semua produk pertanian dapat mengandung aflatoksin meskipun biasanya masih pada kadar toleransi. Kapang ini biasanya tumbuh pada penyimpanan yang tidak memperhatikan faktor kelembaban (min. 7%) dan bertemperatur tinggi. Daerah tropis merupakan tempat berkembang biak paling ideal.
Kandungan Aflatoksin pada biji jagung di Indonesia berkisar antara 10−300 ppb, sedangkan kadar maksimal berdasarkan standar SNI adalah 50 ppb, menurut FDA 100 ppb, dan CFR 20−200 ppb. Batas ambang maksimum untuk beberapa mikotoksin lain seperti fumonisin adalah 5−100 ppm, zearalenon 1−200 ppm, dan trikotesena (deoksinivalenol) 5−10 ppm untuk jagung. Batas ambang tersebut juga bergantung pada jenis hewan (Osweiler 1996; CFR 2001; USFDA 2001). Oleh karena itu, cemaran cendawan pada pakan dan komponen penyusunnya serta upaya pengendaliannya perlu mendapat perhatian.
Klasifikasi dan Efek dari Aflatoksin
Aflatoksin memiliki paling tidak 13 varian, yang terpenting adalah B1, B2, G1, G2, M1, dan M2. Aflatoksin B1 dihasilkan oleh kedua spesies, sementara G1 dan G2 hanya dihasilkan oleh A. parasiticus. Aflatoksin M1, dan M2 ditemukan pada susu sapi dan merupakan epoksida yang menjadi senyawa antara.
Aflatoksin B1, senyawa yang paling toksik, berpotensi merangsang kangker, terutama kanker hati. Serangan Aflatoksin yang paling ringan adalah penurunan nafsu makan,  pertumbuhan yang terlambat, dan lecet (iritasi) ringan akibat kematian jaringan (nekrosis). Pemaparan pada kadar tinggi dapat menyebabkan sirosis, karsinoma pada hati, serta gangguan pencernaan, penyerapan bahan makanan, dan metabolisme nutrisi serta dapat menimbulkan kematian pada anak (Agdex, 1992). Toksin ini di hati akan direaksi menjadi epoksida yang sangat reaktif terhadap senyawa-senyawa di dalam sel. Efek karsinogenik terjadi karena basa N guanin pada DNA akan diikat dan mengganggu kerja gen.
Gambar 2. Proses keracunan alfatoksin
Metabolisme Aflatoksin
Tempat metabolisme utama aflatoksin adalah organ hati, namun ada juga yang dimetabolisme di dalam darah dan organ lainnya. Metabolisme aflatoksin terdiri atas tiga tahap, yaitu bioaktivasi, konjugasi, dan dekonjugasi. Pada ketiga tahap tersebut, tubuh berusaha mengurangi efek racun dari aflatoksin. Aflatoksin akan dikeluarkan oleh tubuh melalui cairan empedu, susu, telur, dan air seni. Bila aflatoksin tidak dapat dikeluarkan dari tubuh maka akan terjadi perubahan patologis dan menimbulkan beberapa gejala seperti keturunan lahir cacat (efek teratogenik) dan kanker (manusia dan hewan)  (Riza,2009).
Pada hewan, aflatoksin menyebabkan bobot organ dalam bervariasi (pembesaran hati, limpa, ginjal, fatty liver syndrome), pengurangan bursa fabricius dan timus, perubahan tekstur dan warna organ (hati, tenggorokan), anemia, hemoragi, imunosupresi, nefrosis, kerusakan kulit, dan penurunan efisiensi breeding (Riley dan Norred 1996; Yiannikouris dan Jouany 2002).
Mendektesi Mikotoksin Aflatoksin
Elisa adalah suatu teknik deteksi dengan metode serologis yang berdasarkan atas reaksi spesifik antara antigen dan antibodi, mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan menggunakan enzim sebagai indikator. Prinsip dasar ELISA (Burgess, 1995) adalah analisis interaksi antaraantigen dan antibodi yang teradsorpsi secara pasif pada permukaan fase padat dengan menggunakan konjugat antibody atau antigen yang dilabel enzim. Enzim ini akan bereaksi dengan substrat dan menghasilkan warna. Warna yang timbul dapat ditentukan secara kualitatif dengan pandangan mata atau kuantitatif dengan pembacaan nilai absorbansi (OD) pada ELISA plate reader (Heny 2005).
PEMBAHASAN
Aflatoksin merupakan toksin yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavusyang sangat berbahaya dan dapat menurunkan produktivitas unggas seperti adanya penurunan bobot badan, penurunan produksi telur dan dapat pula menyebabkan kematian ternak (Murni, 1993).  Rute utama aflatoksin dalam tubuh adalah inhalasi, setelah terpapar melalui pernapasan dan pencernaan. Setelah tertelan, usus menyerap aflatoksin B1 bersama makanan, dan di dalam usus dua belas jari.
Pencegahan cendawan ini juga dapat dilakukan dengan penambahan bahan pengawet pada pakan, misalnya dengan asam askorbat, propionat, asetat dll. Untuk mendapatkan pakan yang berkualiatas tinggi dan pakan tersebut tidak mengalami kerusakan, maka ada hal-hal yang harus diperhatikan peternak, antara lain : pertama, membeli pakan yang berkualitas tinggi dari sumber yang terpercaya dan harus mengetahui cara penyimpanan dan perlakuan terhadap pakan tersebut. Kedua, pengeringan pakan yang akan disimpan dengan kadar air maksimum 14%. Pengeringan ini dapat membunuh jamur. Pakan sebaiknya dimasukkan ke dalam wadah yang kedap udara, air maupun cahaya. Ketiga, memperbaiki sistem pergudangan. Pergudangan yang baik dapat melindungi pakan ternak dari kemungkinan terjadinya goncangan suhu lingkungan, iklim, mencegah masuknya air, gangguan serangga dan pencurian.
Langkah keempat adalah pencegahan dan pemberantasan serangga. Ini dapat dilakukan dengan pengasapan dan penyemprotan insektidida di dalam gudang. Permukaan lantai gudang dibuat sedikit miring ke satu arah untuk pembuangan air. Suhu di dalam gudang sebaiknya 27 C, dengan angin yang tidak terlalu keras. Ventilasi memungkinkan peredaran udara cukup kering dengan kelembaban nisbi 70%. Kondisi kandang yang baik dapat mencegah pertumbuhan cendawan penghasil mikotoksin, sebab aspergilus flavus hanya akan tumbuh baik bila kelembaban nisbi di atas 80% dengan suhu optimal 32-38 C. Serangga dalam timbunan karung di atas lantai dapat dibunuh dengan pengasapan, dengan menggunakan fosfin atau metil bromida. Penyemprotan insektisida pada dinding, lantai dan atap secara tetap akan lebih efektif bila permukaannya dingin, bersih, tak terlalu bau dan bebas dari retakan. Pengobatan dengan berbagai jenis obat, antibiotik, dan vitamin kurang efektif (Anonimus, 2008)
Sistem penjaminan mutu produk pakan dan pangan asal ternak perlu dibahas secara bersama-sama dan komprehensif, hal ini didasarkan atas logika bahwa kontaminasi awal dari produk pangan asal ternak dimulai dari pakan. Memang, hanya dengan pakan yang aman tidak selalu secara otomatis akan menjamin dihasilkan pangan asal ternak yang aman tersaji di meja makan, namun apabila pakan yang digunakan tidak terjamin keamanannya maka secara otomatis akan merendahkan tingkat keamanan pangan asal ternak yang dihasilkan.
Selain itu, fokus pembahasan tersebut sesuai dengan meningkatnya permintaan pangan asal ternak dengan mutu tinggi dan aman dari konsumen, dan dalam upaya mencegah timbulnya insiden-insiden yang terkait dengan keamanan pangan seperti pada beberapa tahun lalu. Dampak negatif timbulnya beberapa insiden tersebut sangat dirasakan oleh produsen ternak, terutama berupa kerugian ekonomi yang sangat besar dan runtuhnya kepercayaan konsumen terhadap keamanan pangan asal ternak. Dengan mengkaji pengembangan sistem mutu dan keamanan produk pakan.
Beberapa aspek penting dalam penyusunan pakan dengan mutu yang baik adalah bahan baku, standar kebutuhan nutrien dari ternak, teknik pengolahan, formulasi,  teknik pencampuran dan kontaminan. Ketersediaan, penanganan dan karakteristik bahan baku berperanan penting untuk mengkreasikan pakan yang bermutu baik. Bahan pakan seharusnya bahan yang tidak digunakan sebagai pangan. Namun, berdasarkan perkembangan nilai ekonomi, pemanfaatan suatu bahan bisa berubah dari yang biasa digunakan sebagai pakan menjadi digunakan sebagai pangan, terutama produk/produk samping dari pengolahan bahan pangan. Industri pakan unggas di Asia Tenggara masih bergantung pada 60 – 70% bahan baku pakan impor, yang harus diperhatikan kadar air, aflatoksin, salmonella (tepung ikan), dan aktivitas urease pada bungkil kedelai (Raghavan, 1997).
Kontinyuitas ketersediaan bahan baku sebaiknya dapat dijaga sepanjang tahun. Keragaman bahan baku yang digunakan akan menyebabkan mutu pakan yang selalu berubah. Oleh karena itu, perlu dilakukan inventarisasi ketersediaan bahan baku sepanjang setahun, sesuai klas bahan pakan, kandungan racun, kandungan zat anti nutrisi, dan bentuk fisik.

















KESIMPULAN
Aflatoksin adalah toksin yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan ditemukan pada biji kacang-kacangan, rempah-rempah serta serealia. Aflatoksin sangat berbahaya bagi unggas, sehingga dapat menurunkan produktivitas seperti adanya penurunan bobot badan, penurunan produksi telur dan dapat pula menyebabkan kematian. Itik merupakan ternak unggas yang paling peka terhadap Aflatoksin. Jika pakan yang mengandung aflatoksin diberikan secara terus menerus terhadap unggas, maka secara tidak langsung akan mempengaruhi perekonomian masyarakat yang menjadikan  peternakan unggas sebagai sumber pendapatan utama.

Comments